13 Mei 2025
Daisy Edgar-Jones Menari dengan Berani Disorot Cahaya Sinema
PHOTOGRAPHY BY Dan Martensen

text by Douglas Greenwood (photography: styling Clare Richardson, fashion Chloé, makeup Florie White, hair Cim Mahony, set design Josh Stovell)
Di sebuah studio tari di London Utara, Daisy Edgar-Jones tengah berjinjit. Sudah lima tahun sejak namanya melejit di kancah internasional dan terakhir sejak ia merasakan kakinya benar-benar “menyentuh tanah”. Dalam sebuah usaha untuk kembali ke jati diri, sang aktris kembali mengambil kelas balet yang pernah terhenti saat usianya tujuh tahun.
Saya dan Edgar-Jones bertemu di sebuah kafe Mediterania di Crouch End, kawasan hijau di London yang lokasinya berbatasan dengan Muswell Hill—tempat Edgar-Jones tumbuh besar. Ia masuk ke dalam kafe mengenakan topi wol, jaket kulit cokelat, kaus putih, celana hitam yang dipadukan dengan sepatu bot, dan langsung mengenali saya yang duduk di bilik paling ujung.
Menari balet merupakan salah satu usaha Edgar-Jones untuk tetap membumi setelah perjalanan lima tahun yang mengubah hidupnya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Pada April 2020 silam, Daisy Edgar-Jones secara tiba-tiba menjadi salah satu perempuan yang paling banyak ditonton di seluruh dunia. Serial romansa penuh emosi yang diadaptasi dari novel karya Sally Rooney berjudul Normal People yang ia bintangi sukses menjadi hiburan bagi banyak orang di masa awal pandemi. Perannya sebagai Marianne membawanya masuk ke dalam nominasi penghargaan bergengsi Golden Globe dan BAFTA (British Academy of Film and Televisions Art), bersama lawan mainnya, Paul Mescal—yang juga menjadi sosok yang sedang digandrungi di jagat dunia maya.
Sejak kepopulerannya tersebut, Edgar-Jones mendapat banyak kesempatan untuk mencoba berbagai hal baru. Ia mengungkapkan ketertarikannya pada film blockbuster, yaitu film-film besar seperti Braveheart dan Speed. Ia bahkan membintangi salah satunya di musim panas tahun lalu, Twisters. “Proyek ini membuat saya lebih menghargai film berskala besar yang dapat membekas dalam ingatan para penonton untuk waktu lama,” ucapnya. Lewat Twisters dan film adaptasi sukses Where the Crawdads Sing, Edgar-Jones telah menunjukkan pesona dan kualitasnya sebagai seorang bintang film yang berbakat.
fashion Chloé (romper & kalung).
Namun, dikesempatan lain seperti hari ini, yang ia inginkan hanyalah menari. Peran yang membawanya kembali ke dunia balet pada musim dingin lalu adalah Maggie, tokoh utama yang kesepian dan gelisah dalam drama klasik karya Tennessee Williams berjudul Cat on a Hot Tin Roof. Drama ini disutradarai oleh Rebecca Frecknall, sutradara teater ternama di West End London. Berfokus pada pasangan suami istri—Maggie yang diperankan oleh Daisy Edgar-Jones dan Brick yang diperankan oleh Kingsley Ben-Adir yang juga berperan dalam film Barbie—serta bagaimana hubungan mereka diuji oleh tuntutan keras dari keluarga Brick yang kaya raya. Lewat balet, Edgar-Jones berharap ia dapat menangkap sisi lincah dan tajam dari karakter Maggie—sampai akhirnya ia sempat mengalami insiden patah tulang di jari kaki.
Meski demikian, ia tetap membawakan perannya dengan sepenuh hati. Setiap malam, para penonton memenuhi kursi untuk menyaksikan penampilan seorang Daisy Edgar-Jones yang muncul di atas panggung menyampaikan monolog nyaris tanpa jeda kepada Brick yang acuh selama hampir satu jam di babak pertama. Sebuah penampilan sarat semangat dan menjadi cara ia memperkenalkan kembali dirinya ke dunia teater yang dulu sempat ia cintai di masa remaja. Dan secara kebetulan, ini merupakan drama pertamanya sejak ia berperan di Albion yang juga ditampilkan di Teater Almeida—saat itu kurang dari sebulan sebelum London mengalami locked down pada tahun 2020. “Lima tahun telah berlalu dan hidup saya sekarang sangat berbeda,” ujar Edgar-Jones. Ia mengakui bahwa ini adalah proyek yang paling membuatnya berkembang sebagai aktor.
Jika di tahun 2024 dipenuhi dengan film-film beranggaran besar, maka tahun 2025 ini membawa dirinya kembali ke proyek yang lebih fokus pada penggambaran karakter yang solid. Film On Swift Horses dirilis di bulan April. Sebuah drama independen bertema queer berlatar tahun 1950-an di California. Edgar-Jones berperan sebagai Muriel, seorang ibu rumah tangga yang tinggal di San Diego bersama suaminya, Lee, yang diperankan oleh aktor Inggris Will Poulter, setelah sang suami kembali dari Perang Korea. Jacob Elordi berperan sebagai Julius, adik Lee yang misterius, yang menolak tinggal bersama kakaknya di kota dan justru pergi ke Las Vegas dan menjalin hubungan asmara dengan seorang laki-laki. Sementara itu, kehidupan rumah tangga Muriel mulai terasa menyesakkan dan asing baginya—ia mulai merindukan kehidupan seperti yang dijalani Julius. Muriel pun mengikuti dorongan hatinya dan mendekatkan diri dengan tetangganya, Sandra, yang diperankan oleh Sasha Calle.
Film ini menjalani proses syuting selama dua bulan di wilayah pinggiran Los Angeles di tahun 2023. Untuk mendekatkan para pemain dan memperdalam cerita utamanya, sang sutradara, Daniel Minahan, mengundang seorang ahli poker dan blackjack untuk mengajarkan cara bermain dan menyediakan sejumlah buku dari era tersebut untuk dipelajari. Sejak awal, Edgar-Jones sudah memiliki harapan dan kepercayaan besar terhadap proyek ini—ditandai dengan dirinya yang mantap menandatangani kontrak sejak awal 2022 dan dengan sabar menunggu waktu yang tepat untuk memulai syuting. “Naskahnya ditulis dengan sangat indah dan puitis. Saya penasaran bagaimana seorang sutradara akan menerjemahkannya ke dalam film,” ujarnya. Ia juga mengaku jatuh cinta dengan pemilihan kostumnya. “Saat Will, Jacob, dan Sasha mengenakan kostum mereka, saya langsung terpukau. Semua orang terlihat luar biasa. Saya menyukai gaya celana high-waisted tahun ‘50-an.” Film ini mengingatkannya pada Normal People, di mana para pemerannya masih berusia muda dan mudah untuk akrab dengan satu sama lain. Temanya pun masih seputar, “Hubungan antar manusia, pencarian jati diri, proses pendewasaan, dan mengenal siapa diri kita yang sebenarnya.”
fashion Philosophy di Lorrenzo Serafini (gaun), Van Cleef & Arpels (gelang).
Saat berusia 15 tahun, Edgar-Jones bergabung sebagai anggota National Youth Theatre di London, tempat ia menemukan teman-teman yang memiliki minat yang sama dengan dirinya. Setahun kemudian, ia mengikuti audisi untuk adaptasi The Little Mermaid karya Sofia Coppola. Meski Coppola akhirnya keluar dari proyek tersebut, EdgarJones memiliki kenangan tentang audisi tersebut—kala itu ia berbaring di sofa (“karena saya tidak punya kaki, melainkan ekor ikan”) sambil membaca dialognya. Ia memang tidak lolos audisi, namun eksistensinya meninggalkan kesan yang kuat bagi sang direktur casting yang menyarankan namanya ke seorang agen, dan langsung memasukkan Edgar-Jones ke dalam daftar talent-nya. Tak lama kemudian, ia mendapat peran reguler di sitkom Inggris Cold Feet, yang membuat rencana kuliahnya tertunda, serta peran di serial TV adaptasi War of the Worlds karya H.G. Wells. Lalu di tahun 2019, datanglah serial Normal People ke dalam hidupnya.
Pengaruh Normal People belum benar-benar pergi dari hidupnya. Lawan mainnya, Paul Mescal, masih menjadi salah satu sahabat terdekatnya di kehidupan nyata. Bersama-sama mereka menghadapi ketenaran yang datang saat pandemi, mengalami rasanya dibuntuti paparazi setiap kali keluar dari rumah. Hal itu pun masih terjadi hingga sekarang. “Tidak pernah sekali pun mereka memotret saat saya sedang berdandan rapi atau memakai riasan cantik. Paparazi hanya muncul saat saya hanya memakai sandal Birkenstock dan kaus kaki, atau hanya keluar sebentar untuk membeli susu. Saat saya melihat foto-foto itu di internet, seketika saya menyesal.”
Saat bermain di Cat on a Hot Tin Roof, ia mendapat pujian di rubrik fashion karena memakai sandal Birkenstock saat musim dingin. “Sebuah fashion statement yang cukup ‘berani’ dari saya, lalu tertangkap paparazi saat mengenakannya,” ucapnya tergelak. Padahal kenyataannya, saat itu ia tidak bisa memakai sepatu karena jari kakinya yang patah.
Hingga saat ini, Normal People masih menjadi bagian besar dari cerita hidupnya. Saya bertanya-tanya apakah ia mulai lelah membicarakannya. Ia tertawa kecil saat menjawabnya, “Saya justru sangat bangga dengan proyek tersebut. Saya ingin terlibat dalam proyek lain yang dapat terkoneksi sedalam itu.”
fashion Miu Miu (atasan, bodysuit, brief, dan belt), Van Cleef & Arpels (cincin dan gelang).
Daftar lawan main Daisy Edgar-Jones sudah seperti barisan aktor laki-laki paling dielu-elukan saat ini. Selain Jacob Elordi dan Paul Mescal, ada Harris Dickinson dari film Where the Crawdads Sing, Andrew Garfield di film Under the Banner of Heaven, Sebastian Stan di film horor Fresh, dan Glen Powell di film Twisters. “Hanya tersisa Timothée Chalamet dan Austin Butler saja yang belum!” candanya.
Yang menarik, dalam hampir semua proyeknya setelah Normal People, ia selalu menjadi pemeran utama, sementara para aktor pria ini (kecuali Andrew Garfield) hanya mendapat peran kedua atau ketiga. Hal ini mungkin menunjukkan tren positif di Hollywood, di mana tahun lalu merupakan kali pertama kesetaraan gender terjadi di box office dengan lebih dari setengah film berpenghasilan tinggi dipimpin oleh pemeran perempuan. Twisters dan Crawdads secara gabungan menghasilkan keuntungan box office global hingga lebih dari setengah miliar dolar.
“Saya sudah bekerja sama dengan hampir semua internet’s boyfrieds,” katanya. “Dan saya bersyukur semua aktor tersebut sangat mendukung saya sebagai pemeran utama. Glen, Sebastian, Paul, semuanya. Saya rasa itu alasan kenapa mereka sangat sukses, dicintai, dan berbakat, yaitu karena mereka sangat murah hati dan benar-benar mendukung cerita, bukan ego mereka sendiri. Glen selalu bilang, ‘Apa perjalanan Kate di cerita ini? Mari kita cari tahu.’ Begitu pula dengan Sebastian, ia sangat berkomitmen pada perjalanan karakter Noa. Bersama Paul, rasanya seperti bermain tenis dengan sahabat sendiri. Saya agak gugup jika suatu saat nanti harus kerja sama dengan orang yang mungkin tidak sesantai mereka! Sebab ego di industri ini bisa besar sekali.”
Dickinson, lawan mainnya di Where the Crawdads Sing, mengatakan bahwa Edgar-Jones sangat mudah diajak bekerja sama. “Dia salah satu orang paling baik yang pernah saya temui. Dia punya kesabaran dan kepekaan yang luar biasa,” katanya. “Dan menurut saya itu juga yang membuat dia menjadi seniman hebat karena kepekaannya.”
fashion Saint Laurent (jaket), Chloé (atasan, celana, dan sepatu).
Karakter-karakter yang telah Edgar-Jones mainkan memiliki banyak sisi, menggambarkan apa artinya menjadi seorang perempuan. Marianne merupakan versinya yang tajam dan rumit, berada di bawah pengaruh seorang lelaki tetapi juga terlalu baik untuk lelaki tersebut. Di film Where the Crawdads Sing, ia memerankan seorang gadis rawa yang menjadi pusat dalam kasus pengadilan, yang tidak tertarik pada struktur sosial konvensional. “Senang rasanya melihat semakin banyak cerita yang menempatkan perempuan sebagai pusatnya. Tetapi menjadi perempuan di usia 20-an juga menarik, sebab kita ingin mencari karakter yang bukan hanya sebagai gadis polos,” ujar Edgar-Jones. “Kita ingin karakter yang memiliki kendali atas hidupnya. Saya ingin setiap karakter yang saya mainkan itu kompleks, dalam, dan memiliki banyak lapisan, karena seperti itulah manusia. Saya bersyukur banyak karakter yang saya mainkan seperti itu. Mereka tidak didefinisikan hanya dari tindakannya, pengalamannya, atau laki-laki di hidupnya. Seperti Kate dari film Twisters, saya tahu banyak orang yang protes karena tidak ada adegan mesra di akhir film ini. Namun, dia telah menjalani perjalanan yang lebih besar dari sekadar kisah cinta.”
Edgar-Jones mempersiapkan perannya dengan kerja keras luar biasa—ia mulai dari menghafal dialog untuk Cat on a Hot Tin Roof bahkan sebelum masuk ke ruang latihan—sebuah bentuk ketakutan akan kegagalan yang menghantuinya. “Saya ingat saat Normal People pertama tayang dan saya sering diwawancara, saya bercerita banyak soal pengalaman sindrom impostor yang saya alami,” katanya. “Saya pikir itu akan hilang, tetapi ternyata tidak. Justru saya sedang berusaha menghadapinya. Saya tidak ingin rasa takut menghancurkan hidup saya.” Ia mengatakan bahwa ia membaca ulasan tentang karyanya setiap saat. Frecknall-lah yang menyarankannya untuk berhenti membaca komentar orang, terutama dari para kritikus yang mengomentarinya. “Itu pelajaran besar untuk saya,” katanya. “Saya tidak sadar ternyata saya takut salah, gagal, atau mempermalukan diri saya sendiri. Semua hal yang datang selama hidup, apalagi dengan pekerjaan seperti ini yang sangat publik. Saya mengalami lonjakan karier yang cepat di usia 20-an, itu berarti proses belajar saya juga berlangsung di depan banyak orang. Saya terus tumbuh dan menjadi lebih baik, tetapi kadang juga melakukan kesalahan, dan itu kadang terasa berat untuk saya.”
Ia memang cepat dalam belajar, tetapi juga harus menghapus banyak hal yang pikirannya katakan tentang bagaimana Daisy Edgar-Jones, si bintang film, seharusnya terlihat. Ia sadar bahwa dirinya tidak bisa menyenangkan semua orang, dan tidak semua proyeknya akan mendapat pujian seperti Normal People. “Where the Crawdads Sing tidak mendapat ulasan yang bagus, tetapi justru banyak orang yang mengutarakan kecintaannya,” katanya. “Untuk sebagian orang, ini merupakan film kesukaan mereka. Menakjubkan, bukan? Dan saya menikmati proses syutingnya, menurut saya filmnya bagus. Seni itu sangat subjektif, dan Anda tidak bisa mengontrol bagaimana orang merespons. Anda hanya bisa melakukan sesuatu dengan niat baik dan mengambil pelajaran dari situ. Lalu respon orang akan datang dari konteks dan kebutuhan yang mereka perlukan.”
Beberapa bulan terakhir, waktu yang ia habiskan untuk ‘membumi’—bersama Frecknall dan Maggie di ruang latihan balet—sepertinya telah mengubah perspektifnya. Ada hal-hal yang kini lebih penting baginya dibandingkan penilaian orang lain. “Tentu saja saya ingin membuat karya yang terkoneksi dengan penonton, dan saya juga ingin membuat karya yang diakui secara kritis. Saya ingin memiliki keberanian dan melakukan pekerjaan ini tanpa rasa takut,” katanya. “Anda tidak bisa melakukannya jika Anda hanya memikirkan soal apakah sesuatu itu bagus atau tidak. Anda hanya bisa terhubung dengan sesuatu yang terasa jujur, dan jika Anda dapat merasakannya, berikan semua yang Anda bisa. Saya ingin berhenti mengkhawatirkan segala hal kecuali yang ada di hadapan saya.”