LIFE

9 Juli 2025

Leo Woodall Telah Matang dalam Memandang Ketenaran


PHOTOGRAPHY BY Ben Parks

Leo Woodall Telah Matang dalam Memandang Ketenaran

styling Donna Wallace; fashion LOEWE; grooming Jason Lawrence; interview Olivia Peter

Dengan nada ragu, Leo Woodall mengisahkan bagaimana hidupnya kini telah bertransformasi. “Saya sudah jarang naik Tube sekarang,” tuturnya, saat kami duduk di sebuah bilik tersembunyi di Electric Diner, restoran bergaya retro yang terletak di Notting Hill—lokasi syuting film terbaru Bridget Jones. Ia menjelaskan bahwa di kereta bawah tanah London, perempuan kerap berdiri hanya beberapa inci dari wajahnya—pemandangan lazim di sana—lalu tanpa sungkan menyatakan kekaguman mereka secara terang-terangan. “Salah satu dari mereka bahkan bilang kalau suaminya jadi sangat cemburu. Situasi yang sangat tidak nyaman bagi saya.” Ia berhenti sejenak, menarik tinggi kerah baju abu-abu yang membalut tubuhnya hingga menutupi wajahnya yang sebagian besar telah tersembunyi di balik topi baseball—menyisakan hanya seberkas cahaya dari matanya yang berkilau. “Saya bersyukur ini musim dingin, jadi saya bisa memakai baju-baju berkerah seperti ini.”

Beberapa menit berselang, seorang perempuan melintas sambil menggenggam ponselnya dan diam-diam merekam mereka. Woodall tersentak, lalu sambil tertawa berkata, “Astaga. Anda pikir tidak ketahuan? Sangat ketahuan, kok!

fashion Loewe (celana panjang, headband, dan sepatu)

Hal-hal semacam ini telah menjadi bagian dari keseharian aktor kelahiran London tersebut. Di usianya yang baru menginjak 28 tahun, ketenarannya meroket, menjadikannya salah satu bintang paling menjanjikan di generasinya. Namanya melambung sejak tampil dalam musim kedua serial HBO The White Lotus karya Mike White, memerankan pemuda asal Essex yang jenaka dalam serial yang menjadi bahan pembicaraan di mana-mana. Usai kesuksesan di The White Lotus, ia mengamankan peran utama sebagai Dexter Mayhew dalam adaptasi Netflix atas novel laris One Day karya David Nicholls. Dengan karakter yang menggabungkan karisma percaya diri dan kerentanan yang menyentuh, penampilan Woodall menuai pujian luas— mendorong pamornya melesat dan menarik sorotan publik dalam skala yang belum pernah ia alami sebelumnya.

“Semua ini sungguh terasa gila bagi saya,” ungkapnya. “Awalnya saya pikir, ‘Wah, keren juga,’ tapi lama-lama rasanya malah aneh.” Ia memahami keterikatan emosional yang dirasakan para penggemar—terutama terhadap serial yang mengguncang perasaan seperti One Day. Meski interaksinya dengan para penggemar kerap berlangsung menyenangkan, tak jarang pula ia mendapati perilaku yang, menurutnya, kerap melewati batas.

Melihat wajahnya yang kian akrab di layar kaca dan layar lebar, tak berlebihan jika dikatakan bahwa ketenaran Leo Woodall belum akan meredup dalam waktu dekat. Ia kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam berakting lewat film terbaru Bridget Jones: Mad About the Boy—film keempat dari serial ikonis Bridget Jones yang diangkat dari novel karya Helen Fielding. Dalam film ini, Woodall memerankan Roxster, seorang penjaga taman berusia 29 tahun yang secara tak terduga bertemu Bridget—yang kini telah berusia 51 tahun—saat ia terjebak di atas pohon di Hampstead Heath bersama kedua anaknya, Mabel dan Billy.

Bridget Jones: Mad About the Boy mengisahkan kehidupan Bridget empat tahun pasca wafatnya sang suami, Mark Darcy. Sebagai seorang ibu tunggal, Bridget bergulat dengan tekanan untuk kembali menjajaki dunia kencan— sebuah dunia yang kini terasa asing dan menyesakkan.


fashion Loewe (mantel) 

Latar cerita yang sarat akan kesedihan ini memberi kedalaman emosional pada narasi yang tetap mempertahankan ruh komedi romantis khas Bridget Jones. Woodall mengaku berkali-kali menitikkan air mata saat membaca naskahnya. Namun, di tengah duka yang menyelimuti, kehadiran Roxster menjadi oase: sebuah pelipur lara, seperti dalam adegan ketika ia salah menebak usia Bridget dan dengan lugu menebak bahwa perempuan itu mungkin belum genap 35 tahun.

“Saya sudah menonton film pertamanya paling tidak dua puluh kali,” ujar Woodall, tak sungkan menyatakan kecintaannya pada genre komedi romantis. Di tengah perbincangan kami, saya bertanya bagaimana rasanya beradu peran dengan Renée Zellweger. “Dia luar biasa,” tuturnya tulus. “Semua orang di lokasi syuting bukan hanya mencintainya, tapi merasa benar-benar nyaman berada di sekitarnya. Anda mungkin membayangkan seseorang sepopuler dia akan memiliki ego yang besar atau sulit diajak bekerja sama, tapi ternyata tidak—dia justru sangat menyenangkan.”

Satu hal yang membuat Leo Woodall merasa sedikit kecewa saat terlibat dalam film ini adalah fakta bahwa ia tidak sempat bertemu dengan Hugh Grant—salah satu idolanya yang kembali memerankan karakter Daniel Cleaver di dalam film ini. “Saya rasa saya baru akan bertemu dengannya di acara premier nanti, saya yakin dia akan senang melakukannya,” ia berucap dengan senyum, mengacu pada reputasi Grant yang terkenal tidak suka menghadiri acara red carpet.

Kepribadiannya yang menyenangkan menjadikan Woodall sosok yang memesona untuk diajak berkencan. Ia berbicara dengan kelembutan yang antusias, memancarkan kehangatan dan keramahan yang membuat siapa pun di sekitarnya merasa nyaman. Dalam percakapan, ia tampil aktif dan responsif, sering kali mengajukan pertanyaan balik sebagai bentuk ketertarikan yang tulus. Candaan ringan dan menggoda pun tak luput ia lontarkan. Ketika saya menyebut bahwa meski bukan sosok pemberani, saya tak gentar menonton adaptasi terbaru Nosferatu karya Robert Eggers, ia menimpali dengan senyum, “Kedengarannya Anda cukup berani, Olivia.” Keaslian karakternya dan kemampuannya untuk membaur dengan mudah membuat kharisma Leo Woodall terasa begitu hidup, baik di layar maupun di dunia nyata.


fashion Loewe (tas) 

Lebih dari sekadar komedi romantis yang penuh kelucuan, Bridget Jones: Mad About the Boy juga menggali isu-isu sosial yang tengah ramai diperbincangkan, salah satunya perihal dinamika relasi dengan rentang usia yang mencolok. Munculnya film seperti Babygirl, The Idea of You, dan kini Bridget Jones, menjadikan topik ini semakin mendapat tempat dalam percakapan publik. Woodall pun menyampaikan pandangannya. “Sebenarnya ini bukan hal baru,” ujarnya. “Hubungan seperti ini sudah terjadi di mana-mana. Tapi mungkin karena belum menjadi pemandangan umum, sebagian orang bereaksi lebih sensitif. Harapannya, dengan semakin seringnya topik ini diangkat di layar, masyarakat bisa semakin terbiasa dan lebih menerima keberadaannya.”

Film ini menyuguhkan banyak elemen khas dari seri Bridget Jones terdahulu yang mampu membangkitkan nostalgia: pakaian dalam berukuran besar, koktail biru mencolok, hingga makan malam bersama para kerabat yang menjalani pernikahan bahagia. Salah satu adegan yang mencuri perhatian adalah ketika Roxster melompat ke dalam kolam demi menyelamatkan seekor Chihuahua yang tenggelam, lalu muncul dengan kaus putih basah menempel di tubuhnya—membangkitkan kembali ingatan akan momen ikonis dari Pride and Prejudice, sebagaimana adegan klasik yang diperankan Keira Knightley.

Menjadi idola tentu bukan perkara mudah bagi Woodall. “Ada tekanan tersendiri,” akunya. Ia mengaku lebih menyukai hari-hari tenang di rumah saat tidak bekerja. “Saat Natal, saya hanya ingin duduk manis di rumah dan makan sepuasnya,” katanya sambil tertawa. Tentang perannya sebagai Roxster, ia pun tak merasa perlu melakukan riset karakter berlebihan, “Saya cukup memercayai intuisi dan arahan sutradara. Ada kebebasan dalam membentuk karakter ini sesuai kepekaan saya sendiri. Dan saya menikmatinya.” Para penggemar mungkin tidak setuju mendengar pernyataan ini. Woodall menambahkan, “Masalahnya, saya benar-benar menyukai piza dan bir. Tapi untuk peran ini saya harus rutin berolahraga ke gym untuk tetap menjaga bentuk tubuh agar dapat menampilkan yang terbaik dalam peran yang saya mainkan. Saat saya melihat Chiwetel Ejiofor (rekan mainnya di film ini) melepas bajunya dan tubuhnya yang proporsional, saya langsung terpana dan berpikir, ‘Saya yakin dia bahkan tidak pergi ke gym!'"

fashion Loewe (Mantel, kemeja, dan celana panjang).

Di sela-sela wawancara, kami saling bertukar rekomendasi musik dan film—dan ternyata selera kami cukup selaras. Mulai dari Taylor Swift, Shrek, hingga serial legendaris The O.C., semuanya masuk dalam daftar favorit kami. Dalam kesempatan itu, Woodall bercerita tentang momen ketika ia bertemu Adam Brody—bintang dari The O.C.—di ajang Emmy tahun lalu. Tanpa ragu, ia menghampirinya untuk menyapa. “Itu salah satu momen paling luar biasa,” ujarnya penuh antusias.

Setelah satu jam berlalu, kami memutuskan berpindah tempat ke The Duke of Wellington—pub ikonis yang juga muncul dalam film Notting Hill—untuk menikmati minuman bersama. “Apakah bersulang di siang hari bisa dianggap sial?” candanya sembari mengetukkan botol kami. Kami memang tidak sedang menjalani tantangan Dry January, namun mengingat saat itu baru pukul satu siang—saya masih dihadapkan pada tenggat pekerjaan dan Woodall dijadwalkan mengikuti sesi pemotretan—kami memilih untuk menahan diri demi menyelesaikan sisa agenda hari itu.

Saya pun menyempatkan diri menyinggung kampanye Loewe terbarunya yang begitu mencuri perhatian. “Apakah kamu melihat celana emas itu?” tanya Woodall sambil tersenyum, merujuk pada busana yang ia kenakan dalam kampanye tersebut. “Aku mulai berpakaian sedikit lebih rapi sekarang,” ucapnya, jelas bangga akan transformasi gayanya.


fashion Loewe (celana panjang, tas, dan sepatu)

Tumbuh besar di kawasan Shepherd’s Bush sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, Woodall menyimpan kisah keluarga yang penuh dinamika. Orangtuanya bercerai ketika ia baru berusia dua tahun. Ibunya kemudian menikah dengan aktor Alexander Morton, sementara ayah kandungnya, Andrew, juga berprofesi sebagai aktor. Meski begitu, Woodall memiliki hubungan yang erat dengan seluruh anggota keluarganya. “Aku cukup beruntung soal itu,” katanya tulus. Kini, ia tinggal bersama kakak laki-lakinya, Gabriel. “Kulkas kami baru saja rusak—isinya cuma susu. Ada gumpalan es raksasa di belakangnya,” ujarnya sambil tertawa, membagikan momen keseharian yang menggemaskan.

Di tengah riuhnya industri hiburan, Woodall menemukan lingkaran kecil tempat ia merasa paling nyaman—beberapa di antaranya adalah rekan-rekan akrab, termasuk Ambika Mod, lawan mainnya dalam One Day. Namun, ia mengakui bahwa sahabat-sahabat terdekat yang masih rutin ia hubungi hingga kini adalah teman- teman dari sekolah drama ArtsEd, almamater yang juga melahirkan nama-nama seperti Will Young dan Simone Ashley. Baru-baru ini, ia bahkan menghabiskan tiga hari penuh merayakan pergantian tahun bersama mereka di Essex—sebuah tradisi kecil yang mengisyaratkan betapa kuatnya ikatan persahabatan mereka.

Tentu, membicarakan kehidupan Woodall tak lengkap tanpa menyinggung kisah cintanya dengan Meghann Fahy, yang bersemi di lokasi syuting The White Lotus. “Kami cukup pintar menjaga hubungan ini tetap privat,” ujarnya dengan tenang. “Menurut saya, itu satu-satunya cara yang masuk akal. Saat ini, banyak pasangan yang memamerkan hubungannya di media sosial, dan saya pribadi tidak melihatnya sebagai sesuatu yang menyenangkan. Hubungan seharusnya menjadi ruang yang aman, dan dengan membukanya ke hadapan publik, kita justru menodai ruang tersebut.”

fashion Loewe (mantel, kemeja, dan celana panjang)

Dengan popularitas yang terus menanjak, tahun ini menjadi periode yang padat bagi Woodall. Di luar keterlibatannya dalam film terbaru Bridget Jones, ia juga tampil dalam serial kriminal produksi Apple TV+, Prime Target, yang baru saja dirilis. Tak hanya itu, ia akan berbagi layar bersama Russell Crowe dan Rami Malek dalam Nuremberg, film berlatar Jerman pasca- Perang Dunia II. Tak berhenti di situ, ia juga akan muncul dalam Turner, sebuah thriller kriminal yang menampilkan peraih Academy Award, Dustin Hoffman, berkisah tentang seorang penyetem piano berbakat yang menemukan bahwa keahliannya dalam presisi bisa mengantarkannya menjadi pencuri brankas yang ulung. Di tengah berbagai proyek besar yang tengah menantinya, saya pun penasaran, adakah pekerjaan lain yang sedang ia kerjakan? “Tidak, saya sedang menganggur!” jawabnya seraya tertawa. Dan untuk mengisi waktu luang? “Menonton Gavin & Stacey, film horor, atau berkumpul bersama teman-teman. Saya tipe orang yang menikmati momen—mungkin itu sebabnya saya tak terlalu pandai menggunakan ponsel,” tambahnya ringan.

Menjelang akhir perbincangan, saya bertanya siapa sosok panutan dalam kariernya. “Bryan Cranston,” jawabnya tanpa ragu. “Breaking Bad adalah serial favorit saya, dan saya benar-benar mengagumi bagaimana ia mengarahkan kariernya. Alih-alih mengejar sorotan atau larut dalam hingar-bingar popularitas, ia tetap membumi dan terus menciptakan karya-karya yang luar biasa.” Ucapan itu, disertai sorot mata dan semangat dalam nada bicaranya, menyiratkan kedalaman visi Woodall—seorang aktor muda yang tak hanya menjanjikan dalam talenta, tetapi juga matang dalam cara ia memandang ketenaran.