25 Juli 2025
Adinia Wirasti Debut Menjejak Panggung Teater lewat Proyek 'Romeo & Juliet' Produksi Bell Shakespeare Australia

Adinia Wirasti photography by Hakim Satriyo for ELLE Indonesia December 2018; styling Ismelya Muntu; makeup Dhirman Putra; hair Roslynn
Adinia Wirasti tengah memulai babak baru dalam perjalanan seni perannya. Awal bulan Juni 2025, ia mengabarkan bahwa dirinya bergabung dalam barisan pemeran teater Romeo & Juliet produksi Bell Shakespeare di Australia. Saat artikel ini dirilis, saya yakin, Anda juga sudah mengetahuinya; sebagaimana pengumuman resminya telah tersiar melalui situs Bell Shakespeare serta akun Instagram Adinia Wirasti beberapa waktu lalu.
Keterlibatan Adinia dengan Bell Shakespeare, sejatinya, merupakan momen monumental bagi kiprah sang aktor peraih dua Piala Citra. Selama hampir setengah abad terakhir, perempuan kelahiran Jakarta 38 tahun silam itu telah membangun reputasi solid sebagai aktor berintegritas di ranah sinema. Figurnya tak terpaku pada satu karakteristik, dan setiap peran dilakoni Adinia secara gemilang dengan kejujuran serta penuh rasa hormat. Baik ketika ia menjadi remaja SMA yang gemar main basket dan mengurus mading di Ada Apa dengan Cinta? (2002); sahabat overprotective tatkala Tentang Dia (penampilan yang menasbihkannya sebagai aktris termuda sepanjang sejarah perfilman Indonesia yang memenangkan Piala Citra kategori Pemeran Pendukung Wanita Terbaik tahun 2005); perempuan berjiwa bebas dalam 3 Hari Untuk Selamanya (2007); penyintas kanker rahim di Laura & Marsha (perannya diganjar penghargaan Pemeran Utama Wanita Terbaik ajang Festival Film Indonesia 2013); lajang yang berupaya memenuhi tuntutan sosial dalam drama-komedi Kapan Kawin? (2015); kaum yang terbelenggu tradisi patriarki dalam biografi Kartini (2017); pemberontak kekuasaan penjajah Grisse (2018); hingga istri bermartabat tinggi di Mendua (2022). Kini, untuk pertama kalinya, Adinia akan menampilkan kedalaman artistiknya ke atas panggung teater lewat prosa klasik karya William Shakespeare, Romeo & Juliet, di bawah arahan Peter Evans.
Debut teater Adinia akan membawanya bertaut dengan sosok Lady Capulet, karakter ibu Juliet yang digambarkan aristokrat, individualis, dan tidak mengerti cara mencintai. Ia mengaku gelisah, “Shakespeare memiliki bahasanya sendiri, and I wasn’t sure I could be good enough to do it,” ujar perempuan lulusan New York Film Academy ini manakala kami berjumpa pada awal bulan Juli lalu, beberapa minggu menjelang keberangkatannya ke Australia untuk memulai latihan persiapan (rehearsal); diikuti tur pementasan Romeo & Juliet keliling kota-kota Negeri Kanguru selama lima bulan (dibuka dengan malam pembukaan di Canberra Theatre Centre pada 29 Agustus 2025, dan berlangsung hingga Desember 2025).
photography by Hilarius Jason for ELLE Indonesia July 2023; styling Sidky Muhamadsyah; makeup Stella Gracia; hair Jovita.
Anda tahu apa yang kerap disulut oleh pengalaman pertama? Perasaan tidak nyaman terhadap kondisi asing. Sebuah keadaan yang dapat menggetarkan kepercayadirian seseorang, tak terkecuali aktor sekaliber Adinia yang menggenggam portofolio bermain peran lebih dari dua dekade. Meski telah menoreh puluhan judul karya perfilman, panggung teater sesungguhnya merupakan dunia yang berbeda. Tidak ada ‘jaring pengaman’ dalam teater sebagaimana lakon sinema; tidak ada privilese mengulang pengadeganan, apalagi proses penyuntingan. Suatu gambaran proses yang nyaris di luar lazim bagi Adinia.
Sore hari itu di The Writers Bar, Adinia (ditemani suaminya, Michael Wahr, yang juga berperan dalam teater ini sebagai Lord Capulet) mencurahkan keantusiasan, kebahagiaan dibalut rasa syukur, sekaligus kegelisahan—yang baik—yang menyelimuti dirinya. Bagaimana pendekatan aktingnya terhadap romantisisme puitis Shakespeare, serta harapan terkait debut teaternya.
Saya sangat mengagumi sinematografi Romeo + Juliet karya Baz Luhrmann. Narasi klasik yang disajikan kontemporer dengan desain visual glamor dan pilihan kostum busana yang dikurasi oleh Kym Barrett meliputi rancangan Dolce & Gabbana, Yves Saint Laurent, hingga Prada. Apakah produksi teater Bell Shakespeare di tangan Peter Evans bakal semegah itu?
“Manuskrip Shakespeare memiliki daya tarik yang berakar pada elemen bahasa sebagai kekuatan utama dalam menghadirkan penceritaan visual. Peter pun menampilkan kisahnya dengan menitikberatkan keindahan tersebut, sementara set panggung didesain bersahaja, begitu pula kostumnya dirancang minimalis palet senada warna hitam. Sebab itu menjadikan pementasan ini sangat menarik. Do you think so, Michael?
[MICHAEL] Yes, Seni peran Shakespeare memikat dengan kesederhanaan dalam produksinya. Everything is brought down to the power of language—baik lewat kata-kata maupun bahasa tubuh. Audiens diajak untuk terlibat dalam narasinya lewat para aktor.
photography by Hakim Satriyo for ELLE Indonesia December 2018; styling Ismelya Muntu; makeup Dhirman Putra; hair Roslynn
Mendialogkan naskah puitis, terlebih naskah Shakespeare, bisa jadi peran yang rumit. Bagaimana pendekatan Anda?
“Selama kurang lebih satu bulan mempelajari naskah Romeo & Juliet milik Bell Shakespeare, saya mendapati diri kembali berakting dengan metode menghafal dialog. Ini cukup menarik, karena selama hampir 15 tahun terakhir, saya telah meninggalkan pendekatan tersebut. Rasanya seperti memutar kembali waktu ke dekade awal perjalanan saya dalam dunia seni peran.”
Apakah metode itu membantu Anda lebih mudah menyelam ke dalam karakternya?
“Tidak ada yang mudah dari bahasa Shakespeare, trust me. Saya ingat, ada dua baris dialog dalam naskahnya yang benar-benar membuat saya bergulat luar biasa. Bukan karena lidah saya tak mampu mengucapkannya, tetapi seolah-olah antara otak dan bibir saya tidak saling terhubung dalam bahasa yang sama.”
Apakah Anda telah berhasil menaklukkannya?
“Hopefully. Saya belajar banyak hal tentang seni berperan dari keterlibatan di proyek ini. Saya memperkaya diri dengan membaca berbagai literatur yang membedah karya Shakespeare, dan menerjemahkan antitesisnya; juga berdiskusi dengan Michael yang telah jauh lebih lama menekuni seni teater, terlebih lagi dunia Shakespeare. Dari Michael, saya mengasah kapabilitas akan pendekatan seni peran iambic pentameter. Suatu teknik berartikulasi sejumlah kosa kata—10 kurang lebihnya—seritme dengan degup jantung, dan berdialog sembari bergerak.”
Michael, apakah metode tersebut merupakan ciri khas teater?
[Michael] “Tidak selalu demikian, kebetulan metode tersebut berlaku untuk menganotasikan struktur bahasa puisi Romeo & Juliet. Selain itu, tentu saja setiap aktor memiliki pendekatannya masing-masing. Bagaimana pun itu, tujuan utamanya adalah untuk dapat memahami apa yang kita ucapkan—tidak jauh berbeda dengan berakting di depan kamera film sebenarnya. Tetapi jika menyoal panggung teater, dialog adalah cara seorang aktor memvisualkan sebuah dunia bagi dirinya, sekaligus kepada penonton. Tubuh Anda, seluruhnya, merupakan instrumen utama. Sebab itu, aktor perlu menemukan dan memahami interpretasinya terhadap narasi yang dimainkan. Perihal ini juga merupakan esensi yang sangat dijunjung tinggi oleh teater Shakespeare (Bell Shakespeare).”
photography by Hilarius Jason for ELLE Indonesia July 2023; styling Sidky Muhamadsyah; makeup Stella Gracia; hair Jovita.
“Ya, cukup lama sejak kali terakhir saya mendapatkan keistimewaan seperti ini. Hahaha. Namun tetap saja, rasanya waktu yang saya miliki tak pernah benar-benar cukup untuk mempersiapkan diri. Dalam rehearsal, segalanya bisa berkembang. Proses ini merupakan momen di mana kami saling bertukar gagasan, bereksperimen, dan bersama-sama mencari interpretasi yang paling tepat untuk karakter maupun keseluruhan cerita. Sebab itu, meski pementasan ini akan menggunakan naskah Romeo & Juliet gubahan tahun 2023—dan kisah ini sendiri merupakan cerita klasik yang telah hadir melalui berbagai pementasan selama berabad-abad—Anda akan selalu menemukan kebaruan sudut pandang dan interpretasi yang menyegarkan.”
Kalau dipikir, durasi latihan persiapannya barangkali jauh lebih banyak ketimbang reading sebuah film.
“Sekitar 4 minggu. Tanggal 23 Juli mendatang, kami akan bertolak ke Australia untuk mulai menjalankan rehearsal.”
Ok, I’ll wait for your call. Berapa lama proses rehearsal teater ini?
“Buat saya—sebagai aktor—yang bisa dibilang awam dalam menerjemahkan bahasa Shakespeare, teknik atau metode berperan seperti itu di luar kebiasaan saya. Saya bukan tipe aktor yang mondar-mandir membaca naskah dalam memahami dialog demi menciptakan suatu karakter peran. Hahaha. Saya lebih terbiasa duduk tenang; membaca naskah dengan seksama; menelitinya; dan menulis margin di tepian beberapa bagian naskah. Tapi kali ini, cara itu saja tidak cukup; saya harus bergerak. Dan saya akui, bergerak justru membantu saya memahami karakter Lady Capulet dengan lebih baik. Hopefully. Bagaimana nantinya saat rehearsal, dan saat tirai pertunjukan diangkat? Saya akan kembali pada Anda untuk melanjutkan ceritanya; anggap sebagai jilid dua dari kisah ini, hahaha.
Adinia Wirasti photography by Hakim Satriyo for ELLE Indonesia December 2018; styling Ismelya Muntu; makeup Dhirman Putra; hair Roslynn.
Adakah hal tertentu yang begitu menggelisahkan hati Anda dalam menghidupkan peran ini; apa yang paling menantang kredibilitas diri Anda?
“Di luar dari narasi Shakespeare yang memiliki bahasanya sendiri, teater adalah medium berkarya yang belum pernah saya jajal sebelumnya. Dan sebagaimana manusia ketika dihadapkan pada sesuatu hal baru, pikiran saya diramaikan oleh suara-suara yang secara intrusif mencoba “menjaga” saya agar tidak beranjak dari zona nyaman, terutama manakala bertautan dengan hal-hal yang asing. Apa yang lantas mendorong keyakinan saya yaitu—selain proses pendalaman karakternya yang menyenangkan—hasrat untuk terus bertumbuh sebagai individu, terlebih lagi sebagai aktor yang telah menekuni dunia perfilman selama hampir 25 tahun. Meski begitu, saya tidak merasakan kegelisahan ini sebagai sesuatu yang buruk."
Dalam skala positif, rasa gelisah menjaga seseorang tetap rendah hati, sekaligus menjadi dorongan yang memacu semangat memberikan upaya terbaik.
“Sepakat. Anda tahu dunia seni peran memiliki caranya sendiri dalam membentuk kepercayaan diri seseorang. Seseorang bisa menjadi sangat didambakan hingga bergerak begitu cepat, dan dalam sekejap mata, keadaan berubah sebaliknya. Selama hampir 25 tahun, saya menyadari bahwa ketakpastian merupakan hal yang paling absolut dari dunia pekerjaan ini. Karena itu, jika seorang aktor tidak menggenggam kendali atas narasi pribadinya, ia dapat rentan terjebak dalam stagnasi. Saya tidak ingin seperti itu. Saya tidak ingin jalan di tempat. Lalu saya berpikir, mengapa tidak melangkah dalam konteks yang lebih besar: perjalanan karier selanjutnya.
Terus terang, saya merasa belum sepenuhnya matang, meski telah menekuni seni keaktoran selama hampir 25 tahun. Saya percaya bahwa selama peradaban manusia masih berkembang, begitu pula seni akting akan terus berkembang. Seorang aktor tidak akan bisa kembali menjadi ‘kanvas kosong’ apabila ia selalu berada dalam ‘atributnya,’ dan saya pribadi menginginkan menjadi ‘kanvas kosong’ itu. Saya perlu mengetahui bagaimana menavigasi diri sendiri dalam membangun karakter personal. Maka ketika datang kesempatan bermain teater dari Bell Shakespeare, saya merasa proyek ini dapat mengantarkan saya menemukan arah dalam meningkatkan kapabilitas diri itu, agar senantiasa tumbuh menjadi individu yang lebih baik. Saya merasa terhormat diberi kepercayaan menjadi bagian dari produksi Romeo & Juliet ini.”
photography by Hilarius Jason for ELLE Indonesia July 2023; styling Sidky Muhamadsyah; makeup Stella Gracia; hair Jovita.
Untuk sebuah awalan, langkah Anda membuana cukup jauh dari Tanah Air. Bagaimana perjalanan Anda berawal?
“It just short of to happen. Barangkali benar adanya, bahwa segala sesuatu memiliki waktunya masing-masing. Tidak pernah terbesit dalam benak saya sebelumnya untuk benar-benar menggeluti dunia Shakespeare. Bagi saya, ‘dunia Shakespeare’ adalah milik Michael, dan bukan Adinia Wirasti. Bahkan ketika teman-teman Michael kerap menggoda saya—kala saya berkunjung menonton sandiwaranya di teater King Lear pada 2024 silam—dengan bertanya apakah saya tertarik menjajal narasi Shakespeare, saya berkata penuh keyakinan kepada mereka, ‘not in the near future.’ Walau begitu, dalam hidup ini, saya selalu berprinsip 'never say never'. Lalu di bulan Maret—atau mungkin April—tahun ini, tanpa saya duga, tawaran itu benar-benar datang. Dan bukan sekadar ide, melainkan proposal nyata dari Peter (Evans) yang dititipkan lewat Michael. Saya ingat saya tertawa ketika mendengarnya; I was like, ‘yeah, right.’”
[Michael] “I told you, He’s serious. And you don’t believe me.”
“Yeah, I was like, ‘No, you must be teasing me’. Tapi rupanya Michael benar-benar serius. In fact, he was death serious. Sebab beberapa hari setelahnya, Peter sendiri yang kemudian menghubungi saya untuk secara resmi membicarakan visinya mempercayakan peran Lady Capulet kepada saya. Kami berdiskusi lewat komunikasi video, dan bahkan ketika itu pun, ada kembimbangan yang menggelayuti naluri saya dalam menerimanya.”
Apa yang lantas menggugah naluri Anda?
“Dorongan untuk menantang batas dan membuka ruang baru dalam perjalanan saya sebagai aktor. Saya pikir, tak ada salahnya memberi kesempatan bagi diri sendiri. Peter juga berbaik hati meminjamkan sepenggal naskah Romeo & Juliet kepada saya sebagai bahan pertimbangan, sehingga saya bisa terlebih dahulu mempelajarinya. Dalam proses belajar itu, saya merasakan sebuah euforia, layaknya semangat berperan yang benar-benar menyegarkan. I was thinking, this is actually fun! Pada satu titik, saya menemukan kesadaran bahwa saya merasa mampu dan langkah ini merupakan jalan yang perlu saya tempuh.”
photography by Hakim Satriyo for ELLE Indonesia December 2018; styling Ismelya Muntu; makeup Dhirman Putra; hair Roslynn.
Ceritakan tentang proses audisinya, apakah ada hal menarik yang terjadi saat Anda audisi?
“Terus terang saya tidak menjalani audisi. Astaga, mendengar diri saya sendiri berkata demikian, rasanya arogan banget. Hahaha. Sungguh tidak ada maksud berbangga hati apalagi sombong, namun begitulah keadaannya. Saya sendiri sempat bingung ketika Peter menyerahkan peran ini. Saya benar-benar merasa terhormat, truly.”
[Michael] “Justru Adinia yang menawarkan diri—bahkan setengah memaksa—untuk menjalankan audisi.
“Yeah, I’m cool with the audition. Audisi merupakan proses yang baik, dan wajar, agar sebuah karakter menemukan jodoh perannya yang tepat. Terlepas dari itu, bohong jika saya tidak gugup menerima peran Lady Capulet tanpa audisi. Maksud saya, Peter tidak pernah melihat saya berperan teater sebelumnya; bagaimana bisa ia percaya kepada saya? Perihal itu terlalu surreal. Tetapi hal ini memberikan saya kesadaran, jika seseorang bisa percaya pada saya, maka saya pun harus bisa percaya pada diri sendiri. Dan pada akhirnya—saya pikir—ini adalah tentang akting.”
Akting, sesuatu yang telah Anda tekuni selama hampir setengah abad.
“Tetapi, saya pikir, kegelisahan bermain peran tidak akan pernah menghilang dalam diri saya. It will always be there. Buat saya, wujud seni peran kerap berangkat dari kegelisahan.”
Di teater ini, Anda akan beradu peran dengan Michael yang memerankan Lord Capulet, suami Lady Capulet. Ini bukan kali pertama Anda bekerja sama dalam sebuah proyek. Apakah kehadiran pasangan membantu menenangkan kegelisahan Anda?
"Saya beruntung, sebab bekerja sama dengan pasangan adalah sesuatu yang menyenangkan. Namun tak berarti mengurangi tantangannya. Setelah saya menekuni roman Romeo & Juliet, drama ini bukan sekadar kisah cinta tragis dua manusia yang tak bisa bahagia bersama. Dalam narasi tersebut juga tersurat secara jelas representasi kegagalan manusia dalam menjalankan peran keorangtuaan. Dan saya akan melakoninya, saya akan memerankan seorang ibu yang menelantarkan anaknya, hingga kemudian kehilangan anaknya. Itu adalah sebuah perasaan duka yang sangat dalam untuk dibayangkan, sementara saya sendiri belum menjadi ibu. Meskipun realitas tentang jarak antar orangtua dan anak tersebut kerap saya saksikan dari beberapa orang di sekitar saya, baik dari sisi orangtuanya maupun sang anak, tetap saja rasa duka akan kehilangannya berbeda."
[Michael] "Ya, kenyataan itu dapat kita temukan terjadi pada siapa saja, dan di mana saja. Itulah mengapa, saya pikir, kisah drama ini sejatinya merefleksikan akar kompleks dalam sejarah kemasyarakatan, melintas negara serta budaya suatu keluarga."
"Dan harus menjaga rasa duka itu setiap hari selama lima bulan mendatang, bukanlah sesuatu yang mudah. Jadi lewat proyek ini, saya yakin, saya akan belajar banyak sekali hal yang memperkaya naluri kesenian saya, sekaligus pribadi saya sebagai manusia."