17 Agustus 2025
Roy Sungkono Tegas Memilih Jalan Hidupnya Sendiri

Roy Sungkono photography by Zaky Akbar for ELLE Indonesia Agustus 2025; styling Sidky Muhamadsyah; fashion Valentino; makeup Ryan Ogilvy; hair Rury; location Gran Mahakam
Saya percaya bahwasanya kehidupan seseorang tidak semata-mata berjalan sebagaimana apa yang telah digariskan oleh semesta. Pilihan sang manusia turut memiliki andil dalam menentukan arah perjalanannya. Ketika Roy Sungkono duduk di bangku SMA, ia dihadapkan pada pilihan menerima tawaran ibunya untuk pindah ke Amerika Serikat, atau menetap di Indonesia. Roy memutuskan tetap tinggal. “Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan di sana. Keluarga dan teman-teman saya di sini; hidup yang saya tahu ada di sini,” pemikirannya pada masa itu. Apakah ia telah merancang nasibnya di Tanah Air? Tidak juga. Masa depan layaknya kanvas kosong dalam genggaman Roy remaja. Siapa sangka, keputusannya di usia belia tersebut—yang kala itu terasa lebih seperti dorongan bertahan ketimbang bergerak maju—justru menjadi gerbang menuju dunia yang mendefinisikan sosoknya pada masa kini: seorang pemeran.
Lahir di Jakarta tahun 1990, Roy dan kedua kakaknya dibesarkan oleh seorang ibu yang turut mengemban peran kepala keluarga. Sang ayah telah meninggal sejak ia kelas 2 sekolah dasar. Tidak banyak ingatan tentang sosok ayah dalam kenangannya, kata Roy, “Beliau adalah pengusaha. Dulu keluarga kami sempat punya pabrik yang cukup berhasil, tapi bangkrut karena persoalan finansial.” Sebab itu, demi memenuhi kebutuhan keluarga, ibunya bekerja merantau. Kehidupan Roy kecil jarang bertalian dengan bidang kesenian. Di sekolah, seni diasah tak lebih dari mata pelajaran reguler. Apalagi bercita-cita jadi pemeran, tidak terlintas di benaknya. Sampai suatu ketika ia menemani seorang kawan yang kedapatan syuting film televisi. Di lokasi, ia diam-diam menyimak jalannya proses sebuah produksi; bagaimana para aktor berperan di depan kamera, sutradara membangun sebuah cerita, hingga dinamika pergerakan seluruh kru. Dari pengamatannya, jiwa muda yang tengah meraba-raba arah hidup mulai berangan-angan. Ia terpantik keingintahuan yang lebih besar untuk menjadi bagian dunia di hadapannya itu.
fashion Dior.
Roy Sungkono merintis jalannya masuk industri hiburan lewat jalur modeling. Ia memenangkan ajang pemilihan cover boy majalah Aneka Yes! tahun 2008. “Di era itu, modeling kerap menjadi batu loncatan menuju industri hiburan,” kisahnya. Kendati demikian, Roy sadar mencantumkan gelar cover boy dalam portofolio tidaklah cukup membuat ia memenuhi kualifikasi seorang pemeran. “Faktanya, saya berangkat dengan tidak punya dasar pengetahuan apa pun tentang seni peran. Bagaimana menempatkan diri dalam sebuah karakter? Saya tidak benar-benar paham apa itu berperan,” katanya. Maka, sembari wira-wiri menjalani kegiatan modeling dan audisi, ia berinisiatif membangun kapabilitas diri melalui kelas teater.
Empat tahun berselang, pada 2012, Roy mulai menjajaki seni peran dengan bermain singkat di layar lebar Dilema. Selanjutnya, kiprah keaktoran Roy Sungkono lebih sering terpantau di sejumlah judul film televisi dan sinetron. Sosoknya sempat absen selama enam tahun dari layar lebar, hingga muncul kembali lewat film horor Alas Pati: Hutan Mati di tahun 2018. “Sebagai anak baru, waktu itu, tangan saya terbuka merangkul setiap peluang yang disodorkan,” ujarnya.
fashion Dior.
Roy pernah terlibat dalam sebuah proyek serial web di mana ia memerankan anggota band—yang menjadi cikal bakal lahirnya grup musik Arah. “Pengalaman itu benar-benar berkesan. Bayangkan, kami harus syuting live, dan bermain musik layaknya band sungguhan, tepat di sebelah panggung konser Limp Bizkit di Soundrenaline,” kenang Roy. Sayang, serial web tersebut gagal mengudara akibat persoalan perizinan sponsor yang tak menemukan titik penyelesaian. Di tengah patah hati, sutradara Angga Dwimas Sasongko datang memberi penghiburan dengan mengusulkan agar Arah berlanjut sebagai band profesional. Sempat meragu, akhirnya Roy setuju untuk menjajal peran ganda di panggung sinema sekaligus musik.
Debut Roy selaku bagian dari Arah terekam dalam film Nanti Kita Cerita Tentang Hari Ini dan Story of Kale: When Someone’s in Love, yang rilis pada 2020. Arah juga menggawangi serial web garapan sutradara muda, Sabrina Rochelle, berjudul Awal & Akhir di tahun berikutnya. Tanpa disangka, kehadiran Arah sukses menjadi animo tersendiri. “Saya menerima usulan bermusik bersama Arah, dengan sebuah catatan, yaitu saya melakukannya semata-mata untuk kebutuhan peran,” ungkap Roy, “Sebab seiring berjalannya waktu, akhirnya saya menyadari satu hal yang benar-benar ingin saya lakukan adalah bermain peran.” Ia bukan tidak senang bermusik. Berkat musik ia menemukan kekasih hati, Michelle Tahalea, yang kini telah menjadi istrinya sejak tahun 2023 (Keduanya bertemu saat sama-sama terlibat program televisi pertunjukan musik keliling Pulau Jawa dan Bali, Stage Bus Jazz Tour 2022). Hanya saja, gairah bermain peran telah mengakar lebih dalam. “Seni peran mengajarkan saya banyak hal terkait kehidupan, impian, ketekunan, kegigihan, kesabaran, dan keyakinan terhadap diri sendiri,” katanya.
fashion Louis Vuitton.
Di titik ini, Roy Sungkono bukan lagi pendatang baru jagat sinema Indonesia. Sepanjang 13 tahun berkiprah sampai hari ini, namanya telah tercatat dalam 17 judul film. Memang ia tidak selalu hadir melakoni pemeran utama; namun pun melalui peran pendukung maupun kemunculan singkat yang mencuri ingatan, eksistensi Roy Sungkono tetap tak terbantahkan. Anda yang menonton film Noktah Merah Perkawinan (2022) tentu tidak lupa aksinya menjelmakan perangai dingin Kemal kepada Yuli. “Saya percaya bahwa segala sesuatu berjalan melalui proses, dan setiap orang memiliki waktunya sendiri,” katanya. Dalam suatu kesempatan syuting bersama Kiki Narendra, sang aktor senior bertukar pikiran pada Roy. Tentang bagaimana aktor berproses. “Beliau mengutarakan bahwa aktor yang tumbuh lewat proses panjang bukan semata-mata tidak beruntung, atau karena ia tidak punya bakat, tetapi ia diberi waktu agar mengasah permainannya semakin matang. Saya pikir, benar adanya,” ceritanya.
Saat saya menemui Roy di bulan Mei silam, ia tengah bersiap bertolak ke Bali untuk menjalani produksi sebuah film baru di mana ia melakoni karakter seorang fotografer. Judulnya masih ia simpan sebagai cerita masa depan. Gantinya, ia sedikit bercerita tentang Tukar Takdir, film teranyar sutradara dan penulis naskah Mouly Surya, yang rencana rilis tahun ini. Karya adaptasi novel berjudul sama karya Valiant Budi itu berkisah tentang sekelompok penyintas tragedi kecelakaan pesawat yang berjuang melanjutkan hidup di tengah perenungan atas pilihan takdir sembari melawan trauma. Dalam obrolan menyoal pilihan hidup dan takdir, saya mengakhiri percakapan dengan sebuah pertanyaan: bagaimana jika saat itu ia memilih menerima tawaran ibunya untuk pindah ke Amerika Serikat? “Bisa saja kepergian saya hanya semakin memperlama perjalanan saya menjadi aktor,” Roy menjawab, “Kalau sekarang melihat ke belakang, keyakinan saya justru semakin kuat; pilihan yang saya ambil adalah yang terbaik. Itu adalah awalan yang mengantarkan saya pada dunia yang saya cintai.” Sebagaimana dikatakan oleh Ralph Waldo Emerson, “The only person you are destined to become is the person you decide to be.” Roy menegaskan, “Tidak ada penyesalan,” dengan ekspresi berseri suratan kebahagiaan.