CULTURE

23 Juli 2025

Michelle Ziudith dan Kisah Amira dalam Film Assalamualaikum Baitullah yang Meruntuhkan Stereotip Istri dan Ibu


Michelle Ziudith dan Kisah Amira dalam Film Assalamualaikum Baitullah yang Meruntuhkan Stereotip Istri dan Ibu

photo courtesy Visual Media Studio

Dalam budaya yang terus mengagungkan pernikahan sebagai mahkota tertinggi perempuan, kisah Amira dalam Assalamualaikum Baitullah hadir sebagai pengingat bahwa realitas tak selalu berjalan seindah imajinasi. Di balik mitos “rumah tangga bahagia” dan tuntutan menjadi istri sekaligus ibu yang sempurna, ada luka-luka yang jarang dibicarakan. Ada air mata yang tersembunyi di balik pintu kamar, doa yang panjang namun tak kunjung berjawab.

Film arahan Hadrah Daeng Ratu ini, yang kini tayang di seluruh jaringan bioskop Indonesia, tidak sekadar bercerita tentang perjalanan spiritual. Ia menyingkap lapisan isu yang lebih kompleks: bagaimana tubuh dan rahim perempuan kerap dijadikan barometer nilai dirinya; bagaimana pengkhianatan dalam pernikahan sering kali dianggap tak lebih dari “risiko yang wajar” ketika perempuan gagal memenuhi ekspektasi sosial.


Amira dan Beban Patriarki yang Tak Terucap
Amira (Michelle Ziudith) memulai pernikahannya dengan keyakinan penuh. Ia percaya cinta dan komitmen akan mengantarnya menjadi istri yang baik, ibu yang hebat. Tetapi kenyataan berkata lain. Tahun-tahun berlalu tanpa kabar kehamilan. Amira menanggung rasa bersalah yang seharusnya tidak pernah menjadi miliknya seorang diri.

Di sinilah film ini mengajak kita melihat wajah patriarki yang lebih halus: ketika kesuburan dijadikan tolok ukur keberhargaan perempuan, ketika tekanan untuk “memberi keturunan” mengikis identitasnya, dan ketika kegagalan biologis memicu pengkhianatan yang seolah bisa dimaafkan oleh norma. Amira menjadi korban dari sistem yang mendefinisikan perempuan hanya melalui dua kata: istri dan ibu.


Namun Assalamualaikum Baitullah menolak mengurung Amira dalam citra korban. Ia bangkit, menegosiasikan ulang makna hidupnya, dan memutuskan untuk berdiri tanpa sandaran. Dari titik terendah, ia menemukan cinta yang lebih besar: cinta pada dirinya sendiri, dan cinta pada Tuhan yang memulihkannya.

Sinema Sebagai Ruang Perlawanan dan Katarsis
Dalam lanskap sinema Indonesia yang sering kali memosisikan perempuan sebagai pelengkap narasi laki-laki, karya ini terasa seperti napas segar. Hadrah Daeng Ratu, bersama penulis naskah Titien Wattimena, Irfan Ramli, dan Efrina Sisfayeralda, menghadirkan sebuah perspektif yang berani: menempatkan perempuan bukan hanya di pusat cerita, tetapi juga memberi ruang bagi emosi, luka, dan keberanian mereka untuk sembuh.

Film ini bekerja dalam kesenyapan. Ia tidak berkhotbah tentang feminisme, tetapi mengartikulasikannya lewat gestur: lewat adegan ketika Amira memilih pergi, ketika ia menutup pintu masa lalu, dan ketika ia menatap kembali hidupnya tanpa merasa gagal. Di situlah kekuatan feminisme yang paling subtil yakni kebebasan untuk memilih diri sendiri.


Menggugat Stereotip Perempuan “Sempurna”
Sepanjang sejarah budaya kita, perempuan selalu dibebani narasi ideal: setia, sabar, penurut. Ekspektasi ini terus direproduksi dalam percakapan sehari-hari, bahkan dalam layar sinema yang seharusnya menjadi cermin realitas. Film Assalamualaikum Baitullah hadir untuk meruntuhkan stereotip itu.

Film ini mengatakan, perempuan tidak diukur dari kemampuannya melahirkan, mempertahankan rumah tangga, atau menanggung semua kesalahan. Perempuan adalah manusia dengan hak untuk marah, hak untuk pergi, hak untuk memulai lagi.


Lebih dari Sekadar Film Religi
Meskipun mengusung nilai spiritual, film ini tidak memenjarakan narasinya dalam dogma. Ia memilih untuk menuturkan luka dengan empati, menjadikan doa sebagai dialog batin yang tidak menggurui. Dalam 102 menitnya, Film Assalamualaikum Baitullah menjadi ruang katarsis: bagi perempuan yang pernah merasa tidak cukup, bagi mereka yang pernah dikhianati, bagi siapa pun yang percaya bahwa dalam gelap, selalu ada cahaya.

Michelle Ziudith memikul peran ini dengan kedalaman yang jarang kita temui. Tidak ada histeria berlebihan, tidak ada melodrama murahan. Hanya sorot mata yang mengandung letupan emosi, cukup untuk menggetarkan kita yang menonton. Bersama Arbani Yasiz, Tissa Biani, dan Maudy Koesnaedi, film ini memahat pesan: bahwa keberanian perempuan sering kali lahir dari luka yang tak pernah kita bayangkan.

Alih-alih sekadar film religi, film ini merupakan manifesto sunyi tentang keberanian perempuan untuk memilih dirinya sendiri. Assalamualaikum Baitullah kini tayang di seluruh bioskop Indonesia.