18 Juli 2025
Assalamualaikum Baitullah: Ketika Sinema Menjadi Ruang Pulang Bagi Perempuan yang Terluka

photo courtesy Visual Media Studio
Dalam hidup, ada luka yang tak selalu bisa diceritakan dengan kata. Ada pengkhianatan yang tak hanya merobek kepercayaan, tetapi juga mencabut akar keberanian seorang perempuan untuk melangkah. Namun, lewat sinema, luka-luka itu bisa menemukan bentuknya. Dan Assalamualaikum Baitullah, film terbaru besutan sutradara Hadrah Daeng Ratu, adalah salah satu ruang aman yang menghadirkan kesunyian batin perempuan ke layar lebar dengan kelembutan, keberanian, dan kejujuran yang jarang ditemukan.
Resmi tayang pada 17 Juli 2025 di lebih dari 331 layar bioskop di seluruh Indonesia, film produksi VMS Studio ini menyentuh urat nadi emosi penontonnya. Tak heran, sejak peluncuran trailer dan sesi special screening-nya, Assalamualaikum Baitullah telah menciptakan gelombang respons emosional yang tulus dan dalam. Dalam empat hari pertama penayangannya, para pemain seperti Michelle Ziudith, Arbani Yasiz, Tissa Biani, hingga sang penulis novel, Asma Nadia, menyapa langsung penonton di berbagai bioskop Jabodetabek. Sambutan hangat dari publik pun menjadi cermin bahwa film ini menyentuh sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar cerita.
Film ini berkisah tentang Amira, perempuan yang kehilangan segalanya karena pengkhianatan yang datang dari orang yang dicintai. Dalam keputusasaan yang sepi, ia memulai perjalanan ke Tanah Suci—bukan hanya sebagai pelarian, melainkan sebagai pencarian jati diri. Di tengah gemuruh batin dan upaya memahami ulang makna kehidupan, Amira menemukan cahaya: bahwa menerima bukan berarti kalah, dan bahwa melepaskan juga bisa menjadi bentuk tertinggi dari kekuatan.
Dalam banyak testimoni yang datang dari publik figur dan penonton, film ini disebut sebagai “penghangat hati” dan “kebangkitan perempuan dari keterpurukan”. Aktor senior dan sutradara Aditya Gumay menyebutnya sebagai karya yang menunjukkan bahwa hidup harus tetap berjalan, meski penuh luka. Sementara aktris Aghniny Haque mengatakan dengan mata berkaca, “kadang yang kuat itu bukan yang melawan, tapi yang melepaskan.”
Indonesia memiliki sejarah panjang dalam sinema yang menyoroti perempuan dalam pusaran konflik batin—mulai dari Ibunda karya Teguh Karya hingga Perempuan Tanah Jahanam karya Joko Anwar. Namun, Assalamualaikum Baitullah memilih jalan yang lebih lirih: ia tidak berteriak, tidak berkhotbah, tapi justru menyentuh dengan kesenyapan. Dan dalam diam itulah, ia menggedor nurani banyak penontonnya. Ia hadir di tengah realitas sosial kita, di mana perempuan sering kali dituntut untuk kuat tanpa ruang untuk runtuh. Di mana pengkhianatan dianggap risiko dalam relasi, bukan luka yang layak dipulihkan.
Film ini, dengan narasi yang ditulis oleh Titien Wattimena bersama Irfan Ramli dan Efrina Sisfayeralda, menghadirkan potret perempuan bukan sebagai korban, tetapi sebagai penyintas yang memilih untuk menyembuhkan diri melalui keyakinan dan keikhlasan. Dalam dunia sinema yang kerap menempatkan perempuan sebagai figur pendukung, Assalamualaikum Baitullah memberi Amira ruang penuh untuk menjadi pusat gravitasi cerita, sebuah langkah kecil tapi penting bagi representasi perempuan dalam film Indonesia.
Michelle Ziudith tampil mengesankan sebagai Amira. Bukan dengan dialog panjang atau ekspresi teatrikal, melainkan melalui getar halus yang menjelma dari sorot mata dan sikap tubuh yang diam tapi penuh makna. Ia menghidupkan karakter yang rapuh tapi tak menyerah, hancur tapi tak hilang.
Sementara Hadrah Daeng Ratu, salah satu sutradara perempuan yang konsisten mengangkat tema spiritualitas dan keperempuanan, kembali membuktikan bahwa perspektif perempuan dalam menyutradarai kisah tentang perempuan bukan hanya penting, tapi sangat relevan. Bersama tim artistik, sinematografi, dan editing yang solid, film ini menjadi pengalaman visual yang sederhana tapi membekas lama setelah lampu bioskop dinyalakan.
Assalamualaikum Baitullah bukan hanya film religi, bukan pula melodrama semata. Ia adalah ruang katarsis bagi perempuan yang pernah dikhianati, bagi mereka yang sedang kehilangan, dan bagi siapa pun yang pernah merasa hampa meski terlihat utuh di luar. Film ini adalah pengingat bahwa dalam hidup yang penuh luka, Tuhan tidak pernah benar-benar jauh.
Dan kadang, sebuah film bisa menjadi doa. Yang tak terucap, tapi diam-diam menjawab sesuatu di dalam hati.