21 Mei 2025
Cannes 2025 dan Diplomasi Budaya Sinema Indonesia: Membingkai Ulang Panggung Global Lewat Cerita Lokal
PHOTOGRAPHY BY Arman Febryan

Di tepi Laut Mediterania yang membiru, di bawah sinar matahari Riviera yang berkilau, Festival Film Cannes tak hanya menjadi festival film tertua dan paling prestisius di dunia, tapi juga simbol betapa kuatnya narasi budaya dapat menyeberangi batas geografis dan politik. Di antara jajaran sutradara, produser, dan bintang film dari seluruh dunia, tahun ini Indonesia menapaki karpet merah dengan langkah yang lebih tegap dan strategi yang jauh lebih matang: mengukuhkan sinema sebagai jembatan diplomasi budaya.
Jejak Indonesia di Croisette
Ini bukan kali pertama Indonesia hadir di Croisette. Pada tahun 1998, Daun di Atas Bantal karya Garin Nugroho ditayangkan dalam program Un Certain Regard—menandai salah satu tonggak kehadiran sinema Indonesia di festival ini. Dua puluh tujuh tahun kemudian, tokoh sentral film tersebut, Christine Hakim, kembali ke Cannes bukan sebagai aktris, melainkan sebagai produser. Kali ini, ia mengusung The Mourning Journey, karya terbaru Garin Nugroho, dan hadir dengan misi memperluas jaringan distribusi internasional.
Christine bukan satu-satunya yang membawa narasi Indonesia ke panggung dunia. Reza Rahadian, salah satu aktor papan atas negeri, membuat debutnya sebagai sutradara melalui film Pangku, yang terinspirasi dari praktik kopi pangku di Pantura—sebuah kebiasaan sosial yang kompleks dan penuh lapisan makna. Pangku menjadi salah satu dari lima proyek yang terpilih dalam program HAF Goes to Cannes 2025. Di sinilah letak kekuatan sinema Indonesia: menghadirkan cerita lokal yang unik, namun resonan secara universal.
Sementara itu, Chelsea Islan, aktris generasi baru, menandai langkah besar dalam kariernya sebagai produser. Film biopik Rose Pandanwangi, yang mengangkat kisah istri pelukis S. Sudjojono sekaligus penyanyi klasik Indonesia yang nyaris terlupakan, menunjukkan keberanian untuk menggali tokoh perempuan dalam sejarah seni yang jarang disorot. Dalam konteks sinema global yang semakin menuntut keragaman narasi, langkah ini bukan hanya relevan, tapi juga sangat politis.
Pertemuan Strategis dan Kolaborasi Internasional
Tahun 2025 juga menjadi momentum penting bagi Indonesia untuk memosisikan sinema sebagai instrumen diplomasi budaya yang strategis. Di balik layar karpet merah dan sesi pemutaran film, berlangsung berbagai forum dan pertemuan bilateral yang sangat menentukan arah masa depan. Wakil Menteri Kebudayaan, Giring Ganesha, hadir dalam forum CNC x EFAD Talks in AFAN Roundtable, yang mempertemukan pembuat kebijakan Asia Tenggara dan Eropa untuk membahas kolaborasi lintas kawasan, keberlanjutan industri film, serta mobilitas para pekerja seni.
Dalam forum ini, Indonesia tidak sekadar hadir sebagai peserta pasif. Justru, inisiatif penandatanganan nota kesepahaman (MoU) dengan Centre National du Cinéma et de l’image animée (CNC) Prancis menjadi sinyal penting bahwa sinema bukan hanya karya artistik, tetapi juga komoditas strategis yang perlu didukung melalui kebijakan negara. MoU tersebut akan difinalisasi pada Desember di JAFF Market, dan mencakup kerja sama pertukaran pengalaman, penguatan institusi perfilman, serta produksi bersama yang membuka peluang sinema Indonesia tampil lebih luas di Eropa.
Jakarta Menuju Kota Sinema
Kehadiran Wakil Gubernur DKI Jakarta, Rano Karno, di Paviliun Indonesia juga menjadi bagian dari narasi besar ini. Sebagai mantan aktor legendaris yang kini menjabat sebagai pejabat publik, ia menjadi simbol jembatan antara dunia seni dan kebijakan. Rano menyatakan bahwa dukungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta terhadap industri film merupakan bagian dari visi menjadikan Jakarta sebagai Kota Sinema menjelang perayaan 500 tahun kota pada 2027.
Jakarta sebagai kota sinema bukan sekadar jargon. Di dalamnya terkandung visi besar: menciptakan ekosistem kreatif yang terintegrasi, membuka peluang kerja baru, serta menjadikan cerita-cerita urban Indonesia sebagai bagian dari percakapan budaya global.
Promosi Kekayaan Intelektual Indonesia
Di paviliun Indonesia yang tampil menonjol di Marché du Film—pasar film terbesar di dunia—digelar sesi Showcase Indonesian IP, yang memperkenalkan proyek-proyek adaptasi dari komik nasional seperti Bandits of Batavia, Locust, dan Jitu, serta film unggulan Pangku, Jumbo, dan Sleep No More. Langkah ini menandai kesadaran baru: bahwa kekayaan intelektual lokal, jika dikemas dengan visi global, bisa menjadi komoditas bernilai tinggi di pasar dunia.
Kiprah Perempuan Indonesia di Cannes
Tak hanya sinema fiksi yang tampil bersinar. Keterlibatan produser Indonesia, Yulia Evina Bhara, sebagai juri di Semaine de la Critique (Critics’ Week) dan keterlibatannya dalam film Jepang Renoir yang masuk kompetisi utama Palme d’Or, menjadi bukti bahwa peran perempuan Indonesia dalam skena sinema global makin signifikan. Di tengah percakapan dunia tentang representasi dan keberagaman, kehadiran perempuan Indonesia bukan hanya sebagai simbol, melainkan sebagai agen perubahan.
Menatap Masa Depan Sinema Indonesia
Sinema Indonesia di Cannes 2025 bukan sekadar parade selebritas atau sesi pemutaran film. Ini adalah bagian dari strategi panjang: menjadikan budaya sebagai alat diplomasi yang kuat, membingkai ulang Indonesia bukan sebagai objek eksotisme global, tetapi sebagai subjek yang aktif membentuk narasi dunia.
Dalam dunia yang semakin terfragmentasi oleh perbedaan politik dan ideologi, sinema memberi ruang untuk menyampaikan empati, memperluas imajinasi lintas budaya, dan membangun jembatan antarmanusia. Dan di panggung Cannes yang sarat simbol itu, Indonesia hadir tidak hanya untuk didengar, tapi untuk didengarkan—lewat cerita-cerita yang lahir dari tanah sendiri, namun menggema hingga ke penjuru dunia.