2 Juli 2025
Samo Rafael Melangkah dengan Ragam Talenta
PHOTOGRAPHY BY Hilarius Jason

styling Ismelya Muntu; fashion Alexander McQueen; makeup
Di tengah gemerlap industri hiburan Indonesia, muncul sosok muda yang menonjol dengan talenta multifaset dari latar belakang budaya yang kaya: Samo Rafael. Lahir dengan nama Samodra Angkasa Putro pada 2 Maret 1995, ia merupakan buah cinta dari antara Untung Suwarno dari Malang, Jawa Tengah, dan Frances Hazie dari Skotlandia. Sejak kecil, Samo telah terpapar pada dua budaya yang berbeda namun saling melengkapi. Ayahnya, dengan akar budaya Jawa yang kental, memperkenalkannya pada nilai-nilai tradisional dan kesenian lokal seperti gamelan dan keroncong. Sementara itu, ibunya membawa nuansa Eropa yang sopan dan santun—bahkan sering dianggap lebih “Jawa” daripada orang Jawa sendiri. Perpaduan ini membentuk pandangan dunia Samo yang luas dan apresiatif terhadap keberagaman budaya. Darah seni mengalir deras dalam keluarga Samo. Kakeknya adalah seorang dirigen orkestra dan seorang orkestrasi di militer, sementara ayahnya gemar bermusik dan bermain gitar. Tak heran jika Samo mulai menciptakan lagu dengan piano sejak duduk di bangku sekolah dasar. “Musik bagi saya bukan sekadar hobi, melainkan kebutuhan. Seperti bernafas, saya harus bermusik setiap hari agar merasa hidup,” ungkapnya.
Samo tidak pernah merencanakan jalur hidupnya secara terstruktur. Ia masuk ke dunia modeling bukan karena pertemuan semesta daripada ambisi pribadi. Sebagai remaja bertubuh semampai, berwajah tegas dengan tinggi, musik jalan, dan pergaulan ekstensial khas anak muda urban. Wajahnya yang khas—perpaduan garis wajah ayahnya yang Jawa dan ibunya yang Skotlandia—membuat agensi modeling, The A Team, di situ semuanya bermula. Perjalanan karier Samo dimulai dalam modeling pada tahun 2012, saat seorang teman mengajaknya mencoba peruntungan di catwalk. Meski awalnya ragu, ia menemukan kenyamanan dalam dunia fashion dan fotografi. Tapi meski awal, ia tahu bahwa modeling hanyalah pintu pertama, tapi bukan ruang utama untuk berekspresi kreatif. Musik datang seperti napas kedua. Bersama band Gemalara, Samo menulis dan menyanyikan lagu-lagu yang kerap terdengar seperti suara hati remaja yang tumbuh di tengah kota—penuh gumuruh, kadang sepi, tapi tetap mengandung bunyi seorang yang sesungguhnya.
Lagu seperti Di Wajahmu Kulihat Bulan bukan sekadar ungkapan cinta. Itu adalah interpretasi puitis dari perasaan hati tercampur. Samo bicara soal rindu, kehilangan, dan harapan—dengan narasi lirik yang lebih menyerupai puisi. Ia kemudian bergabung dalam Macadamia dan Nutcrackers, grup jazz fusion yang lebih eksperimental. Musik menjadi ladang eksplorasi, dan Samo bermain-main dalam ketidakteraturan yang indah. “Musik memberi saya kebebasan untuk menjadi tidak sempurna. Untuk salah, untuk kembali, untuk memulai lagi. Kadang Anda enggak tahu nada apa berikutnya, tapi Anda terus main saja. Sama kayak hidup,” katanya. Kota tempatnya tumbuh juga banyak berbicara melalui musik yang ia ciptakan. Cireks, salah satu single terbarunya, lahir dari pengalaman sehari-hari di Jakarta—sebuah kota yang kerapnya tajut tapi juga menyenangkan. “Jakarta seperti siklus kemacetan. Kamu bisa merasa sangat hidup dan sangat lelah dalam waktu yang sama,” tuturnya. Lagu itu adalah semacam meditasi urban: tentang kemacetan yang tak hanya di jalan, tapi juga dalam kepala dan hati. Sementara itu, lagu Life’s A Prisoner terasa seperti pernyataan filosofis kehidupan, mencerminkan pencarian eksistensial yang lebih dalam. “Hidup buat saya adalah tarian tanpa penonton. Anda harus tetap menari, walau tidak ada yang melihat. Kehidupan adalah tarian berputar, di mana keseimbangan bukan berarti stabil. Saya suka piruet karena indah tapi juga penuh risiko,” ujarnya.
Transisi ke dunia akting terjadi secara alami. Tanpa latar belakang formal di bidang seni peran, Samo belajar secara otodidak melalui keterlibatannya dalam film-film pendek karya mahasiswa-mahasiswa TV. Debut layar lebarnya dimulai dengan The Players (2015), diikuti dengan peran menantang dalam Sebelum Iblis Menjemput (2018). Genre horor memberinya tantangan—tidak hanya teknis, tapi juga emosional. “Menjadi karakter itu seperti masuk ke kulit orang lain, tapi justru membuat saya lebih jujur pada diri sendiri. Karena saya harus tahu siapa saya, sebelum bisa menjadi orang lain,” ungkapnya.
Dalam Puisi Cinta yang Membunuh (2022), ia menjadi Mantram, sosok ambigu binatang di wilayah gelap relasi kekuasaan dan cinta. Tahun 2021 menjadi momen penting, ketika ia hadir dalam sejumlah proyek besar: Tumbuh, Intakan Aku Berdua, Peluk Hantu, Kutip-Kutip Kertas, hingga Losmen Melati 2. Pendekatan akting Samo didasarkan pada keingintahuan terhadap karakter yang akan diperankannya, mencari gerak-gerik dan bukan dialog, dan memahami latar belakang emosional tokoh tersebut. “Saya menyimpan ‘peluru’ dengan cara mengamati dan merekam, agar bisa mengisi peran dengan nuansa yang autentik,” ujarnya. Perannya sebagai Khalid dalam Kutip-Kutip Kertas disebut-sebut sebagai salah satu akting paling emosionalnya—mencerminkan lapisan luka terdalam dalam satu tubuh karakter. Namun, Samo lebih tertarik memaknai kebersyukuran sebagai gerakan kecil dalam proses. “Saya ingin karya-karya saya menjadi ruang refleksi. Bukan sekadar hiburan, tapi pengalaman,” katanya.
Dalam budaya yang penuh tuntutan kecepatan, Samo memilih langkah yang pelan namun penuh makna. Ia tak ingin dikejar kesempurnaan, ia tak pernah konsisten. “Saya tidak mau buru-buru. Saya ingin karya saya punya napas. Punya waktu untuk tumbuh. Saya tidak pernah merasa harus produktif agar tidak dilupakan. Sebab saya belajar, berkarya bukan tentang kecepatan, tapi ketulusan,” katanya. Sebuah potret muda yang nyaman berada di tengah proses. Ia tahu bahwa menjadi muda bukan sekadar tentang segalanya, tapi justru keberanian untuk terus bertahan di era tidak takut salah. Samo tahu perekrut terlalu pada definisi sukses yang bising. Baginya, cukup jika ia bisa terus berkarya dengan jujur, menerima hati satu-dua orang, dan terus tumbuh sebagai manusia. Dalam musik, film, dan hidupnya, Samo seperti menari dalam piruet yang tak pernah selesai—kadang cepat, kadang lambat, kadang hampir jatuh, tapi tak pernah benar-benar berhenti. Dan mungkin di situlah letak kekuatannya. “Keberanian untuk terus berputar. Dengan niat. Dengan sadar. Dengan hidup. “Saya ingin ada jendela yang utuh. Tidak sempurna, tapi terus belajar,” ucapnya.