6 November 2025
Joe Taslim Menemukan Tenang dalam Perjalanan Diri
PHOTOGRAPHY BY NORMAN FIDELI
Photography NORMAN FIDELI styling ALIA HUSIN grooming PINGKY OLVIE photography assistant QEIS M. SULTHON
Pagi itu, sebuah kafe di kawasan Cipete sudah ramai oleh lalu-lalang anak muda yang baru meneguk kopi pertama. Namun di sudut ruangan, seorang laki-laki dengan kaus pink cerah duduk tenang, seakan membawa keseimbangannya sendiri ke tengah keramaian. Dialah Joe Taslim, aktor laga internasional sekaligus mantan atlet judo nasional yang kini kerap kita saksikan di layar lebar Hollywood. Ada kontras yang menarik dalam perjumpaan itu. Warna pink yang ia kenakan—warna yang dalam budaya populer sering ditempelkan pada sisi feminin—tidak sedikit pun mengurangi aura maskulin yang memancar darinya. Justru, pilihan itu seolah menyatakan sesuatu: bahwa maskulinitas bukan soal otot dan gengsi, melainkan tentang keberanian menjadi diri sendiri.
Begitu duduk, Joe meminta pelayan mengecilkan volume musik. Nada suaranya ramah, tatapannya penuh atensi. Tak ada sikap “bintang” yang menjaga jarak, sebaliknya ia hadir total dalam percakapan. “Saya suka begini, ngobrol fokus,” katanya sambil menyeduh kopinya. Dari awal saja, jelas bahwa percakapan kami bukan sekadar soal film laga dan pukul-pukulan, tapi juga tentang perjalanan batin, disiplin, dan refleksi hidup seorang laki-laki yang sudah melintasi banyak arena—dari matras judo, hingga set film di Hollywood.

Lahir di Palembang, 23 Juni 1981, Joe tumbuh di keluarga yang erat dengan dunia olahraga. Ayah dan kakaknya, Peter Taslim, sama-sama akrab dengan judo. Sejak remaja, jalan hidupnya sudah diarahkan ke tatami. “Pas SMA saya masuk pelatnas, usia 15–16 tahun. Jadi dua belas tahun saya ada di tim nasional,” kenangnya. Selama itu, ia meraih medali emas di kejuaraan Asia Tenggara, perunggu di SEA Games 2001 dan 2005, hingga perak di SEA Games 2007. Namun tubuh manusia punya batas. Cedera pasca SEA Games 2009 memaksanya pensiun. “Waktu cedera dan harus berhenti dari judo, jujur saya merasa kehilangan diri sendiri. Dari kecil identitas saya adalah atlet—tatami itu rumah saya. Tiba-tiba rumah itu hilang. Awalnya ada kekosongan besar, tapi justru di situ saya belajar: identitas bukan hanya profesi. Dari kehampaan itu, lahirlah keberanian untuk mencoba dunia baru—akting,” ujarnya.
Siapa sangka, hanya setahun setelahnya ia berhasil mencuri perhatian lewat film The Raid: Redemption (2010). Perannya sebagai Sersan Jaka bukan hanya menampilkan keahlian bela diri, tapi juga menghadirkan kejujuran emosi yang jarang terlihat di genre action Indonesia kala itu. “The Raid itu life changing experience buat saya. Film itu jadi semacam ‘kitab suci’ untuk dunia film action. Semua orang mau bikin film laga, pasti nonton The Raid dulu,” katanya sambil tersenyum bangga. Kesuksesan The Raid membuka jalan ke panggung internasional. Pada 2012, Universal Pictures merekrutnya untuk Fast & Furious 6. Joe memerankan Jah, mantan tentara berdarah dingin yang harus berhadapan dengan Dominic Toretto (Vin Diesel) dan Brian O’Conner (Paul Walker).
“Sejujurnya susah banget menembus industri film global. Orang Amerika asli pun tidak mudah, apalagi kita yang beda bahasa, beda budaya. Jadi saya anggap ini keberuntungan besar,” kata Joe. Keberuntungan itu tidak datang begitu saja. Selain bakat fisik, ia membawa mental baja seorang atlet. “Dunia olahraga melatih saya untuk berkompetisi dengan siapa pun. Jadi ketika masuk ke film internasional, mental petarung itu sangat membantu. Tantangan justru bikin saya makin semangat,” ujarnya. Kesempatan berikutnya datang lewat Star Trek Beyond (2016), di mana ia memerankan alien bernama Manas. Lalu The Night Comes for Us karya Timo Tjahjanto, serta komedi-laga Indonesia Hit & Run (2019). Puncaknya, ia dipercaya memerankan Sub-Zero dalam adaptasi layar lebar Mortal Kombat (2021), karakter ikonik yang memikat generasi 90-an. Sekuelnya, Mortal Kombat 2, dijadwalkan tayang tahun depan.

Ketika nama Joe Taslim diumumkan sebagai pemeran Bi-Han/Sub-Zero dalam adaptasi layar lebar Mortal Kombat (2021), dunia pop culture geger. Sub-Zero bukan sekadar karakter video game; ia adalah ikon lintas generasi, salah satu figur paling ikonis dalam sejarah gim fighting sejak era 90-an. Menghidupkannya berarti menanggung ekspektasi jutaan penggemar di seluruh dunia. “Sub-Zero itu bukan cuma soal kekuatan, tapi soal sejarah, dendam, dan ambivalensi. Dia bukan sekadar villain yang bengis, tapi sosok yang punya alasan, punya luka. Saya ingin orang melihat sisi manusia di balik topeng dan jurus es,” ujar Joe. Di layar, Joe menghadirkan Sub-Zero bukan hanya dengan koreografi bertarung yang presisi, tapi juga dengan ekspresi dingin yang mengandung lapisan emosi. Ada keheningan yang menakutkan, tapi juga getir, dalam tatapan matanya. Itu bukan hasil kebetulan, melainkan hasil perpaduan antara ketekunan aktor dan filosofi seorang atlet. “Setiap kali saya memerankan karakter di film global, saya sadar itu bukan cuma tentang Joe Taslim. Itu tentang nama Indonesia. Ada beban moral dan rasa tanggung jawab. Saya ingin penonton dunia tahu, kita punya talenta yang bisa berdiri sejajar. Sub-Zero mungkin karakter fiksi, tapi di balik topeng es itu, ada darah Palembang, ada semangat Indonesia yang ikut mendunia,” ujarnya.
Dengan tubuh yang terlatih bertahun-tahun dalam judo, Joe bisa membawa dimensi fisik yang otentik: gerakan penuh kontrol, kekuatan yang dinamis, tanpa perlu efek berlebihan. Tapi yang membuat Sub-Zero versinya istimewa adalah kedalaman emosional. Ia membuat penonton percaya bahwa di balik jurus es yang membekukan, ada hati yang pernah terluka. Tak heran, perannya menuai pujian dari kritikus hingga gamer fanatik. Sekuel Mortal Kombat 2 kini tengah ditunggu, dan nama Joe Taslim makin menguat sebagai aktor Asia yang mampu membawa karakter ikonis global tanpa kehilangan identitas personal.

Banyak orang menganggap Joe beruntung bisa mulus berpindah dari dunia judo ke dunia akting. Namun bagi Joe, keduanya tidak pernah benar-benar terpisah. “Judo mengajarkan saya tentang disiplin, kesabaran, timing, dan awareness. Semua itu ternyata persis yang dibutuhkan dalam akting,” katanya. Di tatami judo, seorang atlet dituntut untuk membaca lawan: kapan menyerang, kapan bertahan, bagaimana memanfaatkan momentum. Dalam dunia akting, tantangan itu hadir dalam bentuk berbeda: membaca lawan main, merespons emosi, menemukan timing dialog atau gesture yang tepat. “Judo itu bukan sekadar kekuatan fisik. It’s about flow—mengikuti arus lawan, lalu mencari celah. Acting juga begitu. Kita tidak bisa memaksakan emosi, kita harus mendengarkan lawan main, menemukan flow adegan, baru kita bisa memberi performa yang jujur,” jelas Joe.
Lebih dari itu, judo juga membentuk mentalitas baja yang krusial di dunia film. Latihan berjam-jam, menahan rasa sakit, jatuh berkali-kali lalu bangkit lagi—itulah proses yang kini membantunya menjalani syuting laga berhari-hari tanpa mengeluh. Bahkan fight scene 12 jam di set film pun terasa familiar bagi tubuhnya yang sudah ditempa bertahun-tahun di pelatnas.“Kalau saya bisa tahan latihan judo 6 jam sehari selama belasan tahun, apa artinya syuting 14 jam? Fisik memang capek, tapi mental saya sudah terbiasa,” ujarnya sambil tersenyum ringan. Di titik ini, jelas bahwa keberhasilan Joe bukan semata soal bakat atau keberuntungan. Ia adalah hasil konsistensi, filosofi hidup yang dibentuk dari disiplin judo, lalu dialihkan dengan mulus ke seni peran. Tidak heran ia bisa menjalani dua dunia yang tampak berbeda, tapi sejatinya saling melengkapi—dan menjadikannya aktor laga dengan kelas tersendiri.
Meski namanya melambung, Joe memilih jalur yang tenang. Tidak ada ambisi untuk harus tampil di banyak film atau mengejar popularitas. “Saya tidak merasa harus main di banyak film. Profesi aktor adalah hidup saya yang kedua. Hidup pertama saya sudah saya jalani sebagai atlet. Jadi sekarang saya just want to have fun. Kalau suatu hari harus berhenti, saya siap. There is no pressure,” katanya. Ia bercerita pernah setahun penuh tanpa proyek film. Bukannya resah, Joe justru melihatnya sebagai ruang untuk menyaring pilihan. “Saya enggak mau main hanya demi eksis. Kalau skripnya bagus, saya ambil. Kalau tidak, ya saya tunggu. Anehnya, semakin tidak dikejar, justru tawaran menarik datang lebih banyak,” ujarnya sambil tertawa kecil. Sikap ini membuatnya berbeda dari banyak aktor lain. Alih-alih terjebak dalam “rat race” industri hiburan, Joe memilih kebebasan. “The most important wealth is actually freedom. Banyak orang kaya, tapi terjebak. Tidurnya pun tidak nyenyak. Buat saya, kebebasan itu harta paling besar.”

Di mata publik, Joe Taslim adalah personifikasi maskulinitas: tubuh berotot, wajah tegas, jago berantem. Namun ia justru menawarkan definisi baru tentang kelaki-lakian. “Dulu maskulin itu identik dengan fisik—otot, kumis, jenggot, galak. Bahkan laki-laki dianggap enggak boleh merawat diri. Tapi sekarang maskulinitas lebih ke inner power,” jelasnya. Sambil menunjuk kaus pink yang ia kenakan, Joe melanjutkan, “Apa saya kelihatan kayak perempuan gara-gara pakai pink? Hahaha. Sekarang kita tahu, kekuatan laki-laki ada pada cara berpikir, kecerdasan emosional, integritas, tanggung jawab terhadap keluarga. Mostly datangnya dari dalam diri.” Baginya, kerentanan pun bagian dari kekuatan. “Laki-laki menangis bukan berarti tidak maskulin. Justru berani mengekspresikan emosi dengan pantas itu bentuk keberanian. Zaman sekarang banyak laki-laki bicara soal kesehatan mental, bahkan datang ke psikolog, dan itu sah saja.”
Dalam perbincangan kami, Joe berulang kali menyebut ayahnya sebagai sosok berpengaruh. “Ayah saya mendidik dengan cara keras. Kadang memukul kalau saya malas belajar. Itu bentuk disiplin, bukan untuk menyakiti. Dan itu berhasil. Saya jadi orang yang sangat disiplin,” katanya. Namun ia sadar, cara itu tidak relevan untuk generasi sekarang. “Zaman berubah, pola asuh pun berubah. Saya tidak bisa memperlakukan anak-anak saya seperti dulu ayah memperlakukan saya,” ujarnya. Pengalaman sebagai suami dan ayah, menurutnya, ikut membentuk pandangannya soal maskulinitas. “Sekarang saya hidup bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk istri dan anak-anak. Itu membuat cara pandang saya lebih luas,” katanya.
Ketika ditanya apa yang paling ia takutkan, Joe menjawab tanpa ragu: kehilangan orang-orang yang ia cintai. Namun ia lalu menambahkan refleksi yang lebih dalam. “Nothing lasts forever. Semua cuma sementara—harta, cinta, bahkan hidup. Jadi apa yang harus ditakutkan? Just keep moving on. Rasa takut berlebihan hanya merusak momen sekarang. Take it easy,” katanya dengan tenang. Pandangan itu sejalan dengan prinsip yang ia bawa sejak atlet: disiplin, keberanian, dan integritas. “Listen to your heart and trust your instinct. Kalau hati bilang ‘ayo lakukan’, ikuti. Kalau ragu, jangan. Kalau salah, anggap saja pelajaran,” ujarnya.
Meski pernah berdiri sejajar dengan bintang-bintang Hollywood, Joe tidak pernah berhenti merasa “kecil”. “Semakin banyak pengalaman, justru saya semakin sadar banyak sekali kekurangan saya. Dulu baru main satu-dua film, rasanya bisa segalanya. Ternyata enggak. Ketemu aktor-aktor hebat, saya merasa kecil. Di atas langit ada langit,” ucapnya. Kesadaran itu melindunginya dari kesombongan. “Kesombongan itu berbahaya. I prefer to be a coward but responsible, dibanding pemberani yang mengecewakan orang,” ujarnya lugas. Ia juga menolak terjebak dalam iri hati. “Kalau ada aktor lain sukses, saya ikut senang dan bangga buat mereka. Dunia ini bukan kompetisi. Justru kita harus celebrate people. Kalau kita iri, maka kita belajar apa? Tapi kalau kita merayakan pencapaian orang lain, kita bisa belajar banyak,” katanya.

Mungkin inilah benang merah perjalanan Joe Taslim: keberanian untuk terus bergerak, sekaligus kebijaksanaan untuk membiarkan hidup mengalir. Dari tatami judo ke set film Hollywood, dari definisi maskulinitas lama menuju pemahaman baru yang lebih luas. Ketika saya menyinggung soal nasihat untuk dirinya sendiri sepuluh tahun lalu, jawabannya sederhana: “Just keep doing what you doing. Karena enggak ada yang perlu diubah. Hidup saya mungkin tidak sempurna, tapi saya bersyukur. Saya hanya ingin hidup bermakna dan merayakan apa yang sudah ada.”
“Kalau ditanya mimpi berikutnya, saya ingin lebih dari sekadar main film. Saya ingin jadi bagian dari ekosistem—entah melatih aktor muda, bikin produksi, atau sekadar berbagi pengalaman tentang disiplin dan mentalitas seorang atlet yang saya bawa ke dunia akting. Karena pada akhirnya, yang saya kejar bukan cuma peran besar, tapi warisan: meninggalkan sesuatu yang bisa jadi pijakan untuk generasi setelah saya,” ujar Joe.
Di tengah percakapan, saya teringat lagi pada kaus pink yang ia kenakan. Simbol kecil, tapi padat makna: keberanian untuk bebas dari penilaian orang lain. Mungkin inilah inti maskulinitas baru ala Joe Taslim—sebuah kebebasan untuk menjadi diri sendiri, tanpa perlu membuktikan apa-apa. Dan barangkali, itulah kemenangan terbesar seorang petarung.