3 November 2025
Widianti Widjaja Menjaga Nyawa Batik Oey Soe Tjoen
        “Warisan bukan sekadar benda, melainkan kisah perjuangan, cinta, dan kehormatan yang menginspirasi generasi berikutnya,” tutur Widianti Widjaja, generasi ketiga penerus Rumah Batik Oey Soe Tjoen (OST). Kalimat ini seolah menjadi mantra yang menuntunnya melewati jalan berliku: dari seorang perempuan yang sama sekali asing dengan dunia batik, hingga kini menjadi nakhoda warisan berusia seabad yang dikagumi para kolektor seni dunia. Didirikan pada 1925 di Kedungwuni, Pekalongan, oleh pasangan Oey Soe Tjoen dan Kwee Tjoen Giok Nio, batik OST lahir dari persilangan budaya pesisir Jawa—tempat di mana pedagang, pelancong, dan pemuka agama dari Asia, Eropa, hingga Arab, bertemu dan berbaur.
Dari sinilah lahir corak khas OST: perpaduan buketan bunga Belanda, lotus dan seruni peranakan Tionghoa, hingga detail klasik Jawa dan nuansa Arab. Batik OST sejak awal berbeda. Kehalusan teknik, pengerjaan motif di dua sisi kain, serta gradasi warna rumit yang membutuhkan waktu rata-rata tiga tahun untuk menuntaskan sehelai kain, menjadikannya lebih dari sekadar pakaian. Tak heran, pada masa kolonial batik OST kerap dijadikan mas kawin kalangan ningrat, sebelum akhirnya menjelma sebagai karya seni bernilai tinggi yang dikoleksi museum hingga balai lelang internasional.
Oey Soe Tjoen sendiri, lahir 15 Mei 1901, merupakan anak dari keluarga pembatik. Bersama sang istri, Kwee Nettie, mereka membangun reputasi OST sebagai batik tulis halus kelas dunia. Generasi kedua, Muljadi Widjaja (Oey Kam Long) bersama istrinya, Istijanti Setiono, melanjutkan tongkat estafet. Istijanti dikenal telaten mengawasi mutu dan mengembangkan tata warna, sementara Muljadi memasarkan batik OST hingga menembus pasar internasional. Dari pasangan inilah lahir Widianti Widjaja—cucu Oey Soe Tjoen—yang sejak awal tidak pernah bermimpi menjadi penerus keluarga.
Lahir pada 1976, Widianti tumbuh sebagai remaja Pekalongan dengan cita-cita sederhana: melanjutkan studi ke jenjang S2, bekerja di Jakarta, dan menempuh hidup modern seperti banyak perempuan muda lain. Latar belakangnya di bidang akuntansi sama sekali tidak bersinggungan dengan dunia batik. Namun takdir berbicara lain. Pada 2002, selepas wafatnya sang ayah, Muljadi, Widianti harus mengambil alih Rumah Batik Oey Soe Tjoen. Saat itu ia tidak bisa mendesain, tak menguasai teknik pewarnaan, bahkan tak tahu cara memegang canting dengan benar. Ironisnya, keinginan masa mudanya untuk sekolah mode di Esmod Jakarta pun sempat ditolak ayahnya dengan alasan “hidup seniman tidak menjanjikan secara finansial.” Kini, tanpa bekal, ia justru harus menjadi seniman sekaligus penjaga warisan.
Awal masa transisi adalah masa penuh kegagalan. Widianti kerap frustasi karena hasil batiknya tak pernah sesuai standar tinggi yang diwariskan dua generasi sebelumnya. Ia bahkan sempat menghentikan produksi Rumah Batik OST. Namun, sebuah peristiwa mengubah arah langkahnya: para karyawan datang mengetuk pintu, memohon agar usaha keluarga dibuka kembali. Saat itu Widianti tersadar, warisan ini bukan hanya soal nama besar keluarga, tapi juga soal keberlangsungan hidup banyak orang yang menggantungkan penghidupan dari batik. Keputusan untuk bangkit kembali tidak mudah. Widianti sempat bersitegang dengan ibunya soal otoritas pengelolaan. Hingga akhirnya sang ibu berujar, “Lebih baik kita berhenti di titik tertinggi daripada berhenti di titik terendah.” Kalimat itu membekas, dan justru menjadi penguat Widianti untuk melanjutkan estafet dengan syarat diberi ruang penuh berkreasi, meski harus sedikit keluar dari pakem.
Sejak itu, Widianti menapaki perjalanan panjang. Dari pengalaman singkat membantu ayahnya—mengaduk pewarna, menjemur kain di bawah matahari, hingga belajar memegang tongkat untuk nglorod dan pisau untuk ngerok—ia merajut kembali ingatan kecil menjadi bekal besar. Ia belajar dari nol, dengan kesabaran, hingga akhirnya memahami esensi batik Oey Soe Tjoen: bukan sekadar motif, melainkan cerita budaya yang meleburkan jejak sejarah Jawa, Tionghoa, Belanda, hingga Arab. Kini, Widianti berhasil mempertahankan keunikan batik Oey Soe Tjoen: pengerjaan motif di dua sisi kain, detail garis-garis tipis yang halus, serta komposisi warna pastel dan gradasi yang memerlukan ketelitian luar biasa. Hasilnya bukan hanya kain, melainkan karya seni. “Keindahan batik Oey Soe Tjoen justru hadir dari ketidaksempurnaan yang manusiawi. Di situlah letak kesempurnaannya,” ujarnya.
Tahun 2025, Rumah Batik Oey Soe Tjoen resmi berusia 100 tahun. Di tengah gempuran batik printing yang lebih cepat dan lebih murah, OST tetap bertahan dengan sistem pemesanan khusus. Para kolektor rela menunggu hingga tiga tahun demi sehelai kain. Di mata mereka, batik OST bukan sekadar busana, melainkan pusaka. Pertanyaan berikutnya tentu: siapa yang akan melanjutkan seratus tahun kedua? Widianti sadar, tanggung jawab itu besar. Namun baginya, pelestarian batik bukan hanya soal keluarga. Ia percaya, menjaga batik adalah menjaga identitas budaya bangsa. Sejarawan Peter Carey pernah menyebut batik Oey Soe Tjoen sebagai “cerita tekstil yang merekam sejarah budaya peranakan Tionghoa dan Pantai Utara Jawa.” Bagi Widianti, itu bukan sekadar pujian, melainkan pengingat bahwa ia sedang merawat sebuah bab sejarah. “Saya hanya penjaga sementara agar warisan ini tetap hidup untuk generasi berikutnya,” katanya lirih

Seperti apa perjalanan hidup Anda sebelum akhirnya terjun mengelola Rumah Batik Oey Soe Tjoen?
“Sejujurnya, sejak kecil saya sama sekali tidak tertarik dengan batik. Padahal rumah kami penuh dengan kain batik, aktivitas membatik menjadi rutinitas sehari-hari keluarga, tapi saya tidak pernah merasa ingin terlibat. Rasanya batik hanyalah benda yang ada di sekeliling saya tanpa makna. Hidup saya justru dimulai dari jalur berbeda: saya bekerja di bidang administrasi keuangan, sempat ditempatkan di Semarang dan Pekalongan. Namun, ketika perusahaan mengalami kerugian, saya terkena PHK. Saat itu saya kembali ke rumah, dan untuk pertama kalinya mulai memperhatikan apa yang sebenarnya dilakukan para pembatik di sekitar saya. Kami sempat membuka toko kelontong kecil di garasi rumah. Namun setelah ayah saya meninggal, muncul pertanyaan: siapa yang akan meneruskan usaha batik beliau? Semua mata tertuju pada saya. Bukan karena saya yang paling bisa, tapi karena saya anak, dan sebagai anak saya merasa itu kewajiban. Jadi, bukan cinta pada awalnya yang mendorong saya, melainkan rasa tanggung jawab.”
Anda memulai dari nol tanpa pengalaman membatik. Apa langkah pertama Anda untuk memahami dunia batik?
“Ada satu peristiwa yang tidak pernah saya lupakan. Saat ayah hendak dibawa ke rumah sakit, saya sebenarnya sedang belajar mewarnai batik. Setelah beliau wafat, ibu saya memberikan sebuah buku berisi tulisan tangan ayah tentang teknik membatik. Dari situlah perjalanan saya dimulai. Saya belajar otodidak—mengamati para karyawan, mencoba sendiri, gagal, lalu mencoba lagi. Prosesnya penuh trial and error. Tidak ada guru khusus, hanya kesabaran dan keinginan untuk tidak mengecewakan warisan yang ditinggalkan.”
Apa tantangan paling berat pada masa awal itu?
“Tantangan terbesar justru datang dari dalam, dari para karyawan yang sudah puluhan tahun membatik. Mereka memandang saya sebelah mata: dianggap anak muda yang tidak tahu apa-apa, hanya numpang nama besar ayah. Saat itu usia saya baru 26 tahun. Tapi saya memilih untuk terus berjalan. Saya pikir, selama ada tugas di depan mata, selesaikan saja. Itulah prinsip yang sampai sekarang saya pegang.
Tahun 2006 menjadi momen penting dalam perjalanan batik Oey Soe Tjoen. Bisa diceritakan?
“Benar. Tahun itu terjadi krisis minyak tanah. Padahal minyak tanah adalah nyawa bagi proses membatik. Tanpa itu, kami tidak bisa bekerja. Saya sempat menghentikan produksi dan meliburkan seluruh karyawan tanpa batas waktu. Namun kemudian, para pembatik datang kembali. Mereka bilang, “Kalau batik tutup, dapur kami juga tutup.” Itu membuat saya sadar: batik bukan hanya soal kain, melainkan sumber kehidupan bagi banyak keluarga. Saya mencari jalan tengah. Solusinya: karyawan mencari minyak tanah sendiri dalam jumlah kecil, sementara saya menaikkan upah mereka agar tetap seimbang. Dari situlah saya benar-benar mengambil alih kendali perusahaan, dengan ibu mundur perlahan ke belakang layar. Sejak saat itu, keputusan ada di tangan saya.”
Proses batik Oey Soe Tjoen dikenal sangat khas dan sulit. Apa yang membedakannya dari batik lain?
“Pertama, batik kami dikerjakan dua sisi. Jadi motif di bagian depan dan belakang sama-sama halus, tidak ada perbedaan. Hampir tidak ada pembatik lain yang melakukannya. Kedua, kami menggunakan teknik gradasi warna. Satu warna saja bisa melalui proses pewarnaan berkali-kali. Misalnya kuning—bisa dilapis berulang hingga menghasilkan kedalaman tertentu. Setelah setiap lapisan, kain harus dimalam kembali, dilorot, lalu diberi warna berikutnya. Itu sebabnya proses satu kain bisa memakan waktu tiga sampai lima tahun, bahkan ada yang sampai tujuh tahun jika terjadi kerusakan. Proses panjang itu membuat para pembatik harus sangat hati-hati. Tidak heran jumlah mereka semakin sedikit. Dari 30 orang, kini tinggal 12 yang benar-benar ahli.”
Apakah regenerasi menjadi masalah serius?
“Sangat serius. Membatik butuh ketekunan, tapi anak-anak muda sekarang lebih tertarik bekerja di pabrik atau toko, pekerjaan yang hasilnya cepat. Padahal untuk jadi ahli membatik, seseorang harus berlatih bertahun-tahun. Saya sendiri masih menanggung “utang pesanan” sejak 2016. Karena itu, saya memutuskan menghentikan sistem pemesanan. Mulai 2027, kain akan langsung saya umumkan lewat media sosial: siapa cepat, dia dapat. Cara ini memberi saya ruang bernapas, sekaligus menjaga kualitas karya.
Banyak kolektor mengatakan, memiliki sehelai batik Oey Soe Tjoen adalah sebuah keajaiban. Benarkah?
“Betul. Karena uang saja tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah kesabaran. Prosesnya lama sekali. Kalau tidak sabar, meskipun punya uang, Anda tidak akan bisa memiliki sehelai kain ini. Saya sering bilang, batik ini bukan sekadar kain, melainkan perjalanan hidup. Setiap motif yang lahir menandai tahun-tahun panjang penuh kesabaran.”
Motif batik Oey Soe Tjoen identik dengan bunga, kupu-kupu, dan burung. Apakah ada inovasi baru?
“Saya tetap menjaga pakem lama, tapi juga memberi sentuhan zaman. Pernah saya membuat selendang dengan motif BTS, Tintin, hingga One Piece. Tentu hanya satu helai, tidak boleh lebih, supaya tidak dianggap plagiat. Itu bentuk eksperimen saya: tetap menghormati warisan, tapi juga berinteraksi dengan budaya populer. Dengan begitu, batik tidak hanya menjadi peninggalan masa lalu, melainkan juga dialog dengan zaman.”
Sebagai generasi ketiga, apakah ada beban moral untuk menanamkan warisan ini kepada anak-anak Anda?
“Saya masuk ke dunia batik bukan karena cinta, melainkan tanggung jawab. Jadi saya tidak pernah memaksa anak-anak saya untuk meneruskan. Mereka punya mimpi sendiri, ada yang ingin studi ke luar negeri, ada yang ingin membuka kedai kopi. Bagi saya, warisan ini tidak bisa dipaksakan. Tapi saya percaya, meski awalnya saya tidak mencintai batik, perlahan batiklah yang mengajarkan saya arti cinta—cinta pada proses, cinta pada ketekunan, dan cinta pada bangsa.”
Kini Rumah Batik Oey Soe Tjoen sudah berusia seabad. Apa harapan Anda untuk 100 tahun ke depan?
“Saya ingin membuktikan satu hal: meski berada di bawah bayang-bayang besar kakek dan ayah saya, saya punya bayangan sendiri. Saya ingin meninggalkan jejak bahwa batik Oey Soe Tjoen adalah bagian dari Indonesia, bukan sekadar milik keluarga saya. Kalau pun kelak rumah batik ini harus tutup, biarlah ia tutup dengan terhormat—bukan karena hancur, melainkan karena sudah menuntaskan perjalanannya. Prinsip saya sederhana: jangan sampai batik ini hancur di tangan saya. Selama masih bisa bertahan, saya akan terus berjalan, menyelesaikan perjalanan sampai titik akhir. Itu janji saya.”