20 Agustus 2025
Cara Mencintai di Era Modern

Photo courtesy Getty Images
Baru-baru ini saya meminta ChatGPT menuliskan sebuah kisah cinta untuk saya. Hanya dalam 12 detik, ia merangkum seluruh pengetahuan umat manusia—kisah cinta epik, soneta Petrarchan, hingga artikel-artikel dari psychology.com—menjadi enam paragraf tentang Mia dan Elias yang bertemu lewat aplikasi kencan, berjalan-jalan di Borough Market, lalu hidup bahagia selamanya.
Lupakan sejenak fakta bahwa tidak ada warga London yang waras akan memilih Borough Market untuk kencan pertama (tempat itu kini dipenuhi micro-influencer FoodTok), cerita yang dihasilkan begitu membosankan hingga saya harus bertanya pada si robot, kenapa. Jawabannya: “Cerita ini menyiratkan bahwa, meski hubungan modern dipenuhi kerumitan dan ilusi digital, masih ada kerinduan mendalam manusia untuk koneksi yang tulus.”
Bagi sebagian orang, ini berarti kembali pada nilai-nilai patriarkis dan heteronromatif. Namun bagi banyak lainnya, ini justru jadi momentum untuk mendefinisikan ulang komitmen, bahkan membayangkan kembali struktur masyarakat. Ada yang mengejar kejernihan melalui seks bebas zat, ada pula yang memanfaatkan zat untuk mempererat koneksi dengan pasangan. Semua ini terjadi dalam lanskap yang diliputi ketidakpastian soal hak reproduksi, kekhawatiran terhadap nominasi Big Tech, serta bangkitnya ideologi konservatif yang mengancam peran perempuan dalam ruang publik.
Dalam bukunya Pleasure Activism: The Politics of Feeling Good (2019), teoris Adrienne Maree Brown mengeksplorasi dunia di mana kenikmatan dan seks dijadikan landasan aktivisme—sebuah perjuangan yang berakar pada cinta, pemenuhan, koneksi, dan kebahagiaan. Bukan lagi soal mencintai satu orang atau mengabdi pada satu unit keluarga, tapi bagaimana jika kita mulai mencintai secara bebas? Bagaimana jika kita menempatkan kenyamanan dengan diri sendiri dan kenikmatan sebagai pusat hidup kita?
Ini adalah cara berpikir yang makin banyak dianut. “Karena sebagai masyarakat, kita mulai siap merangkul sisi radikal dari kenikmatan—untuk merasa nyaman dengan, dan di dalam, tubuh kita sendiri, meski dunia seolah mendorong sebaliknya,” ujar Ruby Rare, penulis pemenang penghargaan dan edukator seks. “Kenikmatan itu fisikal. Soal kendali atas diri sendiri. Tentang permainan, rasa, juga kehadiran. Dan saya pikir, ini cara yang sah untuk melawan keterputusan dan apatisme yang ditanamkan kehidupan modern serba digital.”
Selamat datang di era cinta radikal.
Photo courtesy Getty Images
MEET-CUTES
Tiga ribu orang mendaftar untuk acara Dinner for One Hundred terbaru—sebuah klub makan malam di mana 100 orang lajang duduk dan makan bersama. Ide ini berasal dari dua anak muda London, Jake Bucknall dan Jacob Stuttard, yang menciptakan ruang bertemu alternatif bagi para pencari cinta. Karena popularitasnya, kini tiket hanya bisa dibeli lewat sistem undian.
Hal serupa juga terjadi di New York. Sebuah layanan kencan baru menyusun algoritma pencocokan berdasarkan nilai-nilai yang sama, lewat survei rancangan mahasiswa Stanford. Tapi alih-alih menuangkannya ke dalam aplikasi, mereka justru menyelenggarakan pesta. Para peserta tidak tahu siapa pasangan ideal mereka hingga akhir acara—membuat suasana terasa seperti permainan Guess Who?, menurut penulis asal New York, Abby Balter. Sejak diluncurkan, Matchbox telah mengumpulkan 100.000 pengikut di Instagram dan menyelenggarakan berbagai acara pop-up yang selalu habis terjual di seluruh Amerika Serikat.
Mulai dari klub lari untuk lajang yang haus koneksi hingga salon sastra bertema erotis, belum pernah ada begitu banyak peluang untuk bertemu secara langsung. Sementara itu, kejenuhan terhadap aplikasi kencan semakin nyata—dengan penurunan pengguna: menurut Ofcom, antara 2023-2024, Tinder kehilangan 600.000 pengguna, Hinge turun 131.000, dan Bumble menyusut 368.000. Apakah ini artinya kita siap membuang aplikasi kencan ke tong rongsokan modernitas dan kembali bertemu secara nyata? Mungkin. Tapi tak sepenuhnya.
Menurut Emma-Louise Boynton, penulis dan pendiri Sex Talks, “Masalahnya bukan pada aplikasinya, tapi pada kelelahan digital. Jadi, ‘selalu online’ membuat kita kewalahan—terlalu banyak orang, terlalu banyak percakapan, terlalu banyak notifikasi. Dalam kondisi itu, aplikasi jadi terasa sangat melelahkan.”
Tahun lalu, Eugene Healey, pakar tren asal Melbourne, memprediksi bahwa pada 2025, pertemuan dunia nyata akan menjadi simbol status baru, sementara ‘kecanduan digital’ dianggap sebagai status rendah. “Internet sekarang terasa seperti kewajiban… Big Tech telah menjadikan kita produk—bank darah digital—di mana perhatian dan hidup kita diambil sebagai data.” Menjijikan, memang.
Tapi, seperti kata Rachel Thompson, penulis The Love Fix, aplikasi tidak akan hilang begitu saja. “Yang berubah adalah cara kita memanfaatkannya. Sekarang orang lebih cenderung menggabungkan aplikasi dengan interaksi dunia nyata. Aplikasi hanyalah satu dari sekian banyak strategi.”
RELATIONSHIP ANARCHY
Lou, 29 tahun, warga London, mengungkapkan pada orangtuanya tahun lalu bahwa ia adalah seorang relationship anarchist. “Saya rasa mereka cukup bingung,” ujarnya sambil menjelaskan pendekatan anti-hierarki: tidak ada satu orang yang dianggap lebih penting dari lainnya, baik itu pasangan, teman, atau rekan dekat. Lou adalah bagian dari komunitas yang menolak monogami dan pernikahan, memilih membangun struktur hubungan alternatif.
Leanne Yau, edukator dan penulis poliamori, menyebut dua faktor utama di balik pergeseran ini: “Gerakan hak-hak queer membuka jalan bagi struktur hubungan yang lebih beragam. Saat kita mempertanyakan apakah hubungan harus selalu antara laki-laki dan perempuan, atau apakah seks harus sesuai gender, kita juga mulai mempertanyakan apakah monogami adalah satu-satunya bentuk ideal.”
Faktor kedua? Pandemi. “Itu masa sunyi bagi banyak orang—dan justru menyadarkan kita betapa pentingnya koneksi intim, meski tidak selalu bersifat romantis atau seksual. Kenaikan minat pada hubungan non-monogami menunjukkan bahwa kita mulai ragu menggantungkan semua harapan dan kebutuhan pada satu orang seumur hidup.”
Bagi Lou, relationship anarchy adalah “membangun keintiman berdasarkan kebutuhan saat itu.” Ia hadir untuk teman dan pasangan kapan pun mereka butuh, begitu pun sebaliknya. “Kami tidak menyebut siapa pun sebagai ‘pasangan utama’. Kami adalah jaringan orang-orang yang saling terhubung dalam kedekatan tanpa aturan atau label.”
Secara ekonomi, masa sulit kerap sejalan dengan meningkatnya perceraian. Ketika pengangguran naik, angka perceraian ikut melesat. Tekanan finansial membuat banyak orang berpikir dua kali sebelum menjalin hubungan penuh komitmen.
Lou tinggal di sebuah komune gudang bersama 18 orang lainnya. Ia ‘coming out’ karena melihat relationship anarchy sebagai pilihan politik. “Menghargai setiap individu dan menolak hirarki yang melekat dalam monogami dan poliamori adalah cara saya membayangkan bentuk masyarakat baru. Anarki bukan tentang kekacauan, tapi menciptakan kesetaraan dan meninggalkan struktur yang menindas.”
Saat ini, Lou menjalin hubungan seksual dengan sekitar enam orang—semuanya santai, tanpa tekanan. Terdengar ekstrem? Mungkin. Tapi menurut Ruby Rare, penulis The Non-Monogamy Playbook, kita semua sebenarnya mulai menerapkan prinsip-prinsip relationship anarchy tanpa sadar. “Prioritaskan teman dan pasangan romantis secara seimbang, bentuk keluarga sendiri seperti kita menghargai keluarga asal.” Fakta pendukungnya? Tingkat pernikahan menurun. Di Inggris, jumlah lajang usia 25-35 tahun meningkat dua kali lipat dalam 30 tahun terakhir. Banyak orang hidup komunal hingga usia 30-an atau 40-an, mengubah cara kita membentuk hubungan intim.
THE SOFT LIFE
Sementara sebagian orang menantang struktur cinta tradisional, di sisi lain, ideal heteronormatif justru bangkit kembali. Dari istri tradisional di TikTok yang menampilkan estetika ibu rumah tangga sempurna, hingga perempuan yang mencari laki-laki mapan, model keluarga 2.4 tampak kembali digemari. “Naik kelas sosial lewat pernikahan bukan konsep baru—sudah sejak 3.000 tahun lalu,” kata Thompson. “TikToker dan Youtuber hanya ‘merekam ulang’ ide lama ini dengan kemasan seolah-olah pemberdayaan, dan itu cukup mengkhawatirkan.”
Namun, di balik tren ini, ada krisis ekonomi yang nyata. Sejak krisis 2008, upah stagnan, harga rumah melonjak, dan kebanyakan orang di bawah usia 40 tak mampu beli rumah tanpa bantuan orangtua. Perempuan lebih terdampak—bekerja di sektor bergaji rendah dan lebih sering merawat keluarga, membuat mereka berisiko hidup miskin di masa pensiun. Di Inggris, kesenjangan pensiun berdasarkan gender mencapai 35%. Maka tak heran, dongeng tentang lelaki kaya dengan setelah Armani kembali terdengar logis.
Apakah kita masih ingin “diurus” jika ekonomi lebih adil? Boynton ragu. Menurutnya, “Kehidupan rumah tangga ideal yang kita lihat di media sosial sebenarnya hanyalah strategi pencitraan. Para trad wives paling populer—seperti Ballerina Farm atau Nara Smith—bukan istri rumah tangga biasa. Mereka kreator konten, manajer merek, dan sangat cerdas dalam membangun estetika 1950-an yang tampak memesona di feed Instagram.”
SOBER PLAY
“Pertama kali saya pergi ke pesta kencan dalam keadaan sadar dan tidak mabuk, saya merasa sangat cemas,” kata Lola, alias Miss Masochist, kreator konten kink asal London. Meski telah bertahun-tahun menghadiri pesta kencan dan kink, selama ini ia selalu mengandalkan alkohol untuk membuat diri lebih rileks. “Saya pikir alkohol membuat saya terlihat menyenangkan dan menarik. Jadi, berada di ruangan itu sepenuhnya sadar adalah pengalaman yang sangat menantang.”
Namu kecenderungan untuk berpesta tanpa alkohol terus bertumbuh. Tahun lalu, lembaga amal Drinkware mencatat bahwa hampir seperempat orang berusia di bawah 25 tahun di Inggris adalah teetotal—tidak mengonsumsi alkohol sama sekali. Minat terhadap gaya hidup sadar (sober living) pun meningkat di seluruh kelompok usia.
“Dalam hal seks dan kencan, saya pikir menurunnya budaya minum-minum telah memicu perubahan besar dalam sikap,” kata terapis seksual dan penulis, Lucy Boynton. “Sudah ada kekecewaan yang tumbuh terhadap budaya kencan instan dan hubungan tanpa makna. Seiring semakin banyak orang menjalani hidup secara sadar, kebutuhan akan orang menjalani hidup secara sadar, kebutuhan akan koneksi yang benar-benar bermakna pun menguat. Intinya, saat kamu sadar, kamu lebih jarang membuang waktu untuk berkencan dengan orang yang jelas-jelas tidak cocok.”
Bagi Lola sendiri, seks bisa menjadi bentuk natural high. “Banyak orang mengira tanpa alkohol suasana tidak akan seseksi itu. Tapi menurut saya justru sebaliknya.” Menyambung pendapat Boynton, Lola menekankan bahwa hidup sadar membantunya hadir sepenuhnya dalam setiap momen, sehingga pengalaman menjadi lebih bermakna, didasarkan pada persetujuan yang jelas, dan—secara fisik—”Anda bisa merasakan jauh lebih banyak.”
CHEM COUPLES
Di sisi lain dari spektrum—meski masih dalam pencarian koneksi emosional yang lebih dalam pencarian koneksi emosional yang lebih dalam—muncul sebuah gerakan yang kian berkembang: pasangan-pasangan yang menggunakan zat psikoaktif untuk memperkuat hubungan mereka.
Salah satu pasangan yang saya kenal—seorang terapis dan seorang peneliti ilmiah—mempraktikkan semacam “rapat tahunan hubungan” dengan bantuan MDMA, yang mereka lakukan sekali dalam setahun. Sederhananya, mereka mengonsumsi MDMA—zat yang dikenal dapat meningkatkan rasa keterbukaan, euforia, empati, sekaligus menurunkan hambatan psikologis—lalu menetapkan tujuan-tujuan mereka, baik secara individu maupun sebagai pasangan, sembari membahas hal-hal kecil yang mengganjal dalam hubungan. Menurut mereka, obat ini membantu membuat percakapan-percakapan sulit terasa lebih ringan dan tidak menyakitkan.
“Kami melakukannya dengan sangat serius. Agenda kami susun terlebih dahulu, sepenuhnya dalam kondisi sadar. Saat hari itu tiba, kami mengonsumsi MDMA secara seremonial: membersihkan ruangan, menetapkan niat—baik pribadi maupun bersama—lalu berbaring dan mendengarkan meditasi terpandu selama 15 menit. Pada titik itulah efeknya mulai terasa. Kami tidak langsung berbicara; biasanya kami merenggangkan tubuh, menari pelan, atau menulis jurnal secara pribadi. Beberapa jam pertama diisi dengan hal-hal menyenangkan, baru kemudian kami mulai berdiskusi.”
Mungkin terdengar ekstrem, namun praktik ini sebenarnya bukan hal baru. Terapi pasangan dengan bantuan zat seperti MDMA atau psilosibin telah berlangsung sejak era 1970-an dan mengalami lonjakan popularitas dalam 15 tahun terakhir, seiring bangkitnya riset psikedelik. Meski data resmi sulit diperoleh—karena psilosibin dan MDMA masih tergolong narkotika kelas A di banyak negara, dan kepemilikannya dapat dihukum hingga tujuh tahun penjara—secara anekdot, praktik ini makin umum dilakukan secara bawah tanah oleh para terapis pasangan.
Salah satu pelopor pendekatan ini adalah Charley Wininger, seorang psikoterapis di New York sekaligus advokat terapis berbasis MDMA. Terapi pasangan jenis ini, yang biasanya berkisar antara 5.000 hingga 10.000 GBP, diyakini mampu membuka lapisan emosi terdalam dan memfasilitasi terobosan emosional yang bermakna.
Di Australia, MDMA dan psilosibin telah dilegalkan sebagai pengobatan untuk depresi dan PTSD sejak 2023. Namun, di banyak negara lain, legalisasi masih berjalan lambat. Di saat yang sama, pariwisata psikedelik berkembang pesat di wilayah-wilayah di mana senyawa ini tidak tergolong ilegal. Dari Belanda hingga Jamaika, retret-retret yang menawarkan “perjalanan jamur” untuk memperbaiki dinamika hubungan kini makin populer.
Dan sepertinya, memang efektif. “Kami membahas segala hal: dari garis waktu hubungan, rencana pernikahan dan anak, hingga arah karier,” ujar teman saya. “Kami juga membicarakan soal uang—topik yang biasanya saya hindari. Tapi MDMA membantu saya memasuki ruang pikir yang tidak takut pada isu-isu seperti ini. Rasanya semua percakapan lahir dari tempat yang penuh cinta.”
Sesi-sesi ini biasanya berlangsung selama beberapa jam. “Meski kami selalu harus menentukan batas waktu,” tambahnya. “Terakhir kali, kami terus lanjut karena merasa ada isu yang belum selesai. Tapi setelah delapan jam, kami kelelahan, lapar, dan akhirnya malah bertengkar.”