20 Mei 2019
Julie Estelle: Menjadi Perempuan Bukan Berarti Lebih gampang, Tapi Juga Tak Lebih Sulit

Julie Estelle. Perempuan yang muncul sebagai salah satu aktris inspiratif ELLE: Women in Cinema pada edisi Maret silam. Seseorang dengan paras cantik dan pembawaan anggun, tapi bukan berarti lemah tak berdaya. Ia datang 15 menit sebelum jam 10 pagi. Setelah minum segelas air mineral, ia duduk di samping saya.
Dua kali menonton The Night Comes For Us di Netflix, saya pun tak ragu untuk memulai obrolan dengan memuji akting Julie di film tersebut. Film karya sutradara Timo Tjahjanto yang bikin hati takjub meskipun sesekali menutup mata saat adegan terlalu menegangkan. “Peran saya di film The Night Comes For Us bisa dibilang ‘abu-abu’. Karakter sebagai The Operator bikin penonton bertanya-tanya, dia ini baik atau jahat sih sebenarnya? Saya bersyukur peran ini mendapat respon positif dari orang-orang,” Julie menanggapi pujian sambil tersenyum.
The Night Comes For Us bukan film laga pertama bagi Julie Estelle. Gareth Evans berperan penting dalam keterlibatan Julie di genre action. Sutradara Merantau dan The Raid itu menawarkan casting film Berandal (The Raid 2) di mana ia butuh seorang perempuan untuk memerankan karakter Hammer Girl. Tahun 2013, Julie Estelle sukses memerankan tokoh tersebut dengan ciri khas; tidak pernah berbicara, selalu memakai kacamata hitam, dan membawa palu ke mana pun dia pergi.
[caption id="attachment_7754" align="aligncenter" width="685"]
Busana: MAX MARA[/caption]
“Sebuah pengalaman luar biasa. Proses casting lima hari. Empat hari aku dan beberapa nama lain dilatih gerakan-gerakan bela diri. Hari kelima, kami melakukan seluruh gerakan sambil di-shoot oleh Gareth. Berbulan-bulan tidak ada kabar, suatu hari Gareth mengabarkan bahwa saya lolos casting. Rasanya bahagia banget!”, kisahnya.
Kebanggaan yang diperoleh bukan semata-mata karena ia berhasil mendapatkan peran Hammer Girl. Julie bukanlah seseorang dengan latar belakang dan pengalaman bela diri. Sebagai satu-satunya perempuan yang beraksi di The Raid 2, Julie memulainya dari titik nol.
“Segala cara saya lakukan agar bisa menampilkan yang terbaik. Naik-turun tangga empat lantai, sit up, push up, dan lari keliling kompleks rumah. Sebetulnya di The Raid 2, hanya ada dua scene di mana saya berkelahi. Tapi di balik dua scene itu, ada latihan dan kerja keras berbulan-bulan agar mencapai standar koreografi yang seharusnya,” ceritanya. Perjuangan Julie tidak sia-sia. Berkat akting di film The Raid 2, Julie Estelle menerima penghargaan Best New Actress dari ajang Jackie Chan Movie Action Awards 2015.
Setelah The Raid 2, kita kembali dibikin takjub oleh aksi Julie Estelle saat menonjok Joe Taslim, menghajar Hannah Al Rashid, dan menghantam Dian Sastrowardoyo berkali-kali di The Night Comes For Us (2016). Sebelumnya, Julie tampil di Headshot (2015), sebuah film laga di mana Julie beradu akting dengan Iko Uwais dan Chelsea Islan. Kejutan terjadi saat Julie Estelle ikut ambil bagian dalam film Foxtrot Six karya sutradara Randy Korompis. Alih-alih berakting laga seperti dugaan banyak orang ketika melihat nama Julie di daftar pemain, ia justru banyak berperan membangun drama film tersebut.
Di Foxtrot Six, Julie Estelle berperan sebagai Sari Nirmala. Seorang jurnalis yang cerdas, aktif dalam gerakan membela hak asasi manusia, dan peduli pada isu-isu kemanusiaan. “Adegan berkelahi lebih difokuskan pada enam tokoh utama yang memang laki-laki semua. Dengan tantangan yang saling berbeda, ini kesempatan bagi saya untuk menunjukkan kemampuan berakting drama. Bukan lebih gampang, tapi juga tidak lebih sulit,” Julie antusias bercerita.
[caption id="attachment_7752" align="aligncenter" width="685"]
Busana: LOUIS VUITTON[/caption]
Dalam film laga, Julie mesti memelihara komitmen untuk menjaga stamina, melatih fisik, berlapang dada jika kena pukul lawan main, dan tidak menyimpan dendam kalau kena tonjok saat adu akting. “Berbulan-bulan saya tidak mengonsumsi garam dan gula. Latihan fisik sehari dua jam dan latihan silat setiap hari Jumat selama lima jam. It takes a lot of hard work to achieve something. Namun saya mencintai apa yang saya kerjakan. Maka tentunya saya akan melakukan yang terbaik”.
Lain halnya dalam film drama. Bukan hanya harus mampu mendalami segala bentuk emosi seperti marah, sedih, dan bahagia, Julie juga melakukan riset atas tokoh yang diperankan. “Di film Selamanya, saya berperan sebagai pencandu narkotika. Saya bertemu psikolog, psikiater, para pencandu, lalu ngobrol sama mereka untuk mengetahui kehidupan seperti apa yang dijalankan seorang pencandu narkotika. Selain itu banyak baca buku tentang kopi, sering-sering pergi ke perkebunan kopi. Intinya harus menggali emosi dan mengulik segala sesuatu yang bisa membantu saya memahami sekaligus mendalami karakter tertentu”.
Julie tidak pernah merencanakan dirinya terlibat di dunia perfilman Tanah Air. Saat usianya belasan tahun, Cathy Sharon, sang kakak, sudah lebih dulu terlibat di industri hiburan dengan menjadi model sekaligus VJ MTV. “Melihat kakak terjun di dunia modelling dan berprofesi sebagai VJ MTV, saya tidak pernah merasa tergugah untuk melakukan apa yang dia lakukan. Saya pun tidak pernah berpikir akan mengikuti jejaknya di industri hiburan. Namun suatu hari, saat sedang jalan di sebuah mal, seseorang menyapa dan mengajak saya ikut casting iklan. Karena masih muda, saya iseng ikut dan ternyata lolos casting untuk iklan produk sabun pembersih wajah. Tahun 2004 menjadi momen pertama saya tampil di layar televisi,” kisah Julie.
Kemunculan di layar televisi dan halaman iklan majalah, Julie lantas menemui jalannya di dunia perfilman saat ikut beradu peran di film Dealova (2005) dan Alexandria (2005). Ia kemudian terus mengasah kemampuan akting dengan berakting di sejumlah film: Kuntilanak (2006), Selamanya (2007), Rumah Dara (2010), The Raid 2: Berandal (2014), Filosofi Kopi (2015), Surat dari Praha (2016), Headshot (2016), The Night Comes For Us (2018), Lagi – Lagi Ateng (2019) , dan Foxtrot Six (2019).
[caption id="attachment_7753" align="aligncenter" width="685"]
Busana: MAX MARA[/caption]
Pelbagai hal menyenangkan dialami Julie lewat keterlibatannya di industri perfilman Indonesia. “Ada banyak orang yang setiap mau berangkat kerja itu rasanya berat banget karena enggak suka dengan apa yang dikerjakan. Di industri perfilman, saya bisa melakukan sesuatu yang memang saya senangi. Setiap berangkat kerja rasanya bukan seperti bekerja. I feel very blessed. Punya penghasilan sendiri sejak muda pun bikin saya mandiri dan sedikit mungkin merepotkan orang lain. Bertemu orang-orang hebat yang inspiratif tentunya meluaskan wawasan dan menambah pengetahuan. Dari dunia film pula, saya belajar untuk selalu disiplin dan menghargai waktu. Dunia film turut memungkinkan saya mencoba berbagai profesi, seperti penyanyi, pemain piano, dan memahami teknik-teknik bela diri yang bisa jadi enggak saya dapatkan jika tidak berada di industri ini,” tutur Julie.
Namun sebuah perjalanan menuju sukses, nyaris tidak pernah selalu mulus adanya. Ada kegelapan yang dilewati sebelum menyambut terang. Terdapat keringat dan air mata yang mengiringi tiap perjuangan seseorang. Tak terkecuali Julie Estelle.
“Enggak terhitung berapa kali saya menangis saat syuting The Raid. Ada beberapa gerakan yang sulit banget. Salah satunya tendangan. Latihan berbulan-bulan, rasanya enggak pernah bisa-bisa. Saya sering berpikir, apakah sebetulnya saya mampu melakukan ini? Apakah saya memang pantas berada di sini? Saya bekerja dengan orang-orang hebat, pintar, perfeksionis, dan sangat profesional. Tentu saya tidak ingin mengecewakan orang-orang yang telah menaruh kepercayaan pada saya,” ungkap Julie.
[caption id="attachment_7750" align="aligncenter" width="685"]
Busana: LOUIS VUITTON[/caption]
Menyimak ia bercerita, saya lantas teringat perjalanan orang-orang hebat yang penuh air mata dan keringat untuk sampai akhirnya menerima pujian atas kesuksesan. Sebelum sukses dengan bisnis animasinya, Walt Disney pernah dipecat oleh koran tempatnya bekerja karena dianggap kurang imajinasi dan miskin ide.
Oprah Winfrey dipecat dari pekerjaan pertamanya sebagai pembawa berita dengan alasan terlalu emosional dengan beritanya. Colonel Sanders, pendiri Kentucky Fried Chicken, mengalami penolakan dari 1.000 restoran saat berusaha menjual resepnya. George Lucas mengalami penolakan dua kali dari studio besar untuk ide Star Wars. Naskah Harry Potter ditolak oleh 12 penerbit besar sampai akhirnya diterbitkan. Tentu masih banyak kisah kegagalan dan penolakan di balik orang-orang yang akhirnya mencapai sukses besar.
Saya dan Julie Estelle kemudian sepakat pada satu hal. Bahwa gagal itu bukan lawan kata sukses, tapi justru bagian dari proses menuju kesuksesan. Kalimat ‘What doesn’t kill you, only makes you stronger’ sering kali didengar manakala kita dituntut untuk tidak cengeng menghadapi hidup.
Bahwa kesulitan, kegagalan, dan segala bentuk penderitaan diinterpretasikan orang bijak sebagai proses menguatkan diri. “Saya tidak pernah menyangka, karena main di The Raid 2, orang-orang jadi menyebut saya aktris film laga dan bahkan saya menerima penghargaan dari Jackie Chan Movie Action Awards karenanya. Gigih dan pantang menyerah itu betul-betul jadi kunci keberhasilan dalam melakukan apapun,” pungkas Julie.
(Photo: DOC. ELLE Indonesia; photography IFAN HARTANTO, styling SIDKY MUHAMMADSYAH, makeup artist ARCHANGELA CHELSEA hair ENGELINA INEZ)



