CULTURE

12 September 2019

Heri Dono: Menerjemahkan Seni yang Berharga


Heri Dono: Menerjemahkan Seni yang Berharga

Seni sebagai kesaksian zaman, telah mengantarnya berpetualang menjadi warga global dan menemukan Indonesia dalam karyanya. INTAN KALIH menemui seniman kebanggaan Tanah Air, Heri Dono.

Menarik, provokatif, bernilai budaya, dan menghadirkan wacana aktual, mungkin hanya sekelumit refleksi dari karya-karya Heri Dono. Seniman generasi ‘80-an yang menembus pasar seni global sejak tahun 1990 itu kerap memiliki topik menarik untuk dibahas. Karyanya menjadi relevan, meski tak jarang ada pihak-pihak yang terusik karena ketulusannya dalam mengkritik. Tak heran karyanya lebih dulu dipamerkan dan diapresiasi di luar negeri, sebelum akhirnya menarik perhatian negara sendiri.

Lewat seni, ia membedakan bagaimana seharusnya perupa berkreativitas, bukan sekadar berkespresi seni. Beragam medium diolahnya menjadi suatu karya instalasi yang menggugah buah pemikiran, kesadaran, ataupun emosi. Ia menggali keutuhan bangsa sampai akhirnya kita dapat menemukan karakter khas Indonesia dalam lukisannya.

Berlokasi di Gampingan, Yogyakarta, ELLE menyambangi Studio Kalahan, rumah bagi Heri Dono berkreasi dan mengarsipkan sejumlah karya. Berbincang serta melihat langsung sang maestro menciptakan sampul spesial bagi ulang tahun ELLE Indonesia yang ke-11.

Bagaimana latar belakang kolaborasi Anda dengan ELLE?

“Kolaborasi ini menarik karena membahas persoalan perempuan. Bagaimana independensi perempuan dan problematika berbagai perjuangan perempuan dari zaman Cut Nyak Dien, R.A. Kartini, Dewi Sartika, dan Malahayati. Konsep-konsep kemerdekaan itu hingga kini masih aktual. Saya sebagai laki-laki melihat adanya persoalan berupa pembebasan terhadap hak-hak perempuan, terutama hal-hal yang sederajat dengan laki-laki.”

Tema ELLE, Legend: Woman and Her Own Tale, apa yang ada dalam benak Anda?

“Zaman R.A. Kartini, kekuasaan feodalistis sangat kuat. Ia bukan orang yang betul-betul bergerak dalam aktivitas hidupnya, lain dengan Cut Nyak Dien atau Malahayati di mana mereka berada di tengah situasi pemberontakan. Kekuatan Kartini ada dalam pikiran yang kemudian dibukukan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Konsep yang memberi kesadaran tentang wacana- wacana berpikir perempuan di masa mendatang, dan hingga kini masih aktual. Di pulau-pulau lain, seperti Maluku, para tokoh perempuan menjalani perjuangan fisik. Karena Indonesia negara kepulauan, maka setiap perempuan memiliki cara berjuang yang berbeda-beda.”

heri dono interview elle indonesia anniversary 2019
Menyusu Pada Orde Baru, 1998

Adakah perempuan yang sangat berjasa di dalam kehidupan Anda?

“Ibu saya semasa Perang Dunia II itu menjadi Tentara Palang Merah. Kemudian Tentara Pelajar juga. Aktif di perpustakaan. Beliau bergerilya dan banyak membaca buku. Ketika bapak saya masih hidup, sampai tahun 2004, ibu banyak sekali membantu pekerjaan bapak. Ibu saya punya referensi lebih banyak tentang persoalanpersoalan, baik di literatur, tradisi, filsafat, sejarah, kemudian hal-hal yang berkembang. Ibu ialah seorang yang membebaskan cita-cita untuk setiap anaknya. Termasuk ketika saya memutuskan mau menjadi seniman.” Apa fokus Anda ketika berkarya? “Tema utamanya tentang kemanusiaan, dihubungkan dengan kartun dan realita. Dulu setelah studi wayang sama Sukasman, saya mengombinasikan elemen-elemen wayang. Semenjak Orde Baru, saya membuat karya lukis berupa simbol mengenai persoalan sosial politik yang dibungkus dengan jenaka.”

Mengapa tertarik menampilkan seni yang bermuatan sosial politik?

“Untuk mendapat kesadaran politik, saya merasa tidak harus masuk ke politik praktis. Lewat jalur seni dan kebudayaan, saya punya independensi untuk mengekspresikan persoalan sosial politik. Seni bisa memalsukan persoalan dalam bentuk puisi, patung, lukisan, seni pertunjukan, dan lainnya.”

heri dono interview elle indonesia anniversary 2019
Born and Freedom , 2004

Mempelajari budaya wayang, apa dampaknya dalam berkreativitas?

“Yang menarik bahwa dalam wayang tidak ada segala sesuatu yang hitam putih. Sangat multiinterpretatif. Dari wayang, saya menganggap bahwa konflik ialah sesuatu yang harus diciptakan. Ketika berkarya dan tak ada konflik, tidak ada persoalan, maka seni itu tidak menarik untuk dibahas."

Tahun ‘90-an menembus pasar seni global. Bagaimana ceritanya? “Sebetulnya karya saya sudah dipamerkan di Manila, Filipina, pada 1985, kemudian tahun 1987 di Swiss. Tapi baru tahun 1990, saya pertama kali menginjakkan kaki di luar negeri dan tinggal di Basel, Swiss. Saya ikut serta dalam pameran di Museum of Ethnology (Museum der Kulturen). Dari karya yang terjual, uangnya dipakai untuk mengunjungi negara lain seperti Belanda, Jerman, Austria, Prancis, dan Italia. Saya ingin mengenalkan Indonesia, sekaligus mencari tahu aktivitas seni beserta seniman-seniman luar negeri. Untuk masuk ke wilayah yang diakui dalam skala internasional, kita harus memiliki statement yang tidak harus sama seperti mereka. Punya keberanian untuk ditolak dan didiskriminasi. Namun ketika kita telah berani membuat perbedaan berarti kita berkontribusi kepada seni rupa dunia.”

heri dono interview elle indonesia anniversary 2019 - trokomod
Trokomod, 2015

Bagaimana kemudian Anda menemukan ‘Indonesia’ dalam berkarya?

“Indonesia sebagai negara kepulauan dengan bahasa dan budaya yang berbeda, saya menganggap bahwa seni itu plural artinya. Saya tidak bisa hanya mewakili kebudayaan Jawa. Jadi secara sepenuhnya mempelajari sejarah yang terjadi di berbagai provinsi Indonesia. Berbagai folklor saya kumpulkan sebagai referensi. Tiap daerah itu punya filsafat warna, bentuk, motif, dan ceritanya sendiri.”

Dalam perjalanan karier yang panjang, bagaimana kiat agar tetap eksis dan produktif?

“Untuk menjadi terkenal itu mudah. Tapi untuk bertahan, lebih sulit karena mesti update. Seni merupakan kesaksian atas zaman, kita juga harus melihat apa yang berkembang dan menjadi persoalan-persoalan aktual. Kita bisa mengambil referensi-referensi dari persoalanpersoalan lama untuk kembali diaktualisasi. Baik lokal, nasional, maupun internasional. Kita selalu mengantisipasi apa yang selalu berkembang dan selalu berkontribusi pada masyarakat.”

heri dono interview elle indonesia anniversary 2019
The Last Protectors, 2016

Tantangan seniman zaman sekarang?

“Adalah untuk menjadi seniman yang cosmopolitan. Mereka harus membuat disruption atau lompatan baru. Dan tidak harus di Indonesia, mereka bisa berada di wilayah kebudayaan yang berbeda. ‘Ke-Indonesia-an’ itu di masa depan sudah tidak dilihat secara geografis. Kurator juga tidak harus tinggal di Indonesia. Kurator Indonesia harus menjadi kurator seniman-seniman dunia. Ia harus bisa mengetahui hal-hal global dan bisa mengurasi para seniman di penjuru dunia. Termasuk pemerintah harus membuat bagian dari kedutaannya menjadi rumah seni atau rumah budaya di mana orang Indonesia adalah tuan rumahnya. Di situ kita bisa menggelar kegiatan budaya yang tidak tercampur dengan persoalanpersoalan kenegaraan. Rumah-rumah budaya itu bisa mengundang seniman Indonesia ke sana. Kurator Indonesia mengundang senimanseniman lokal yang ada di negara setempat untuk dipamerkan karyanya di rumah budaya. Sehingga kuratornya juga bisa kenal dengan masyarakat dunia. Jadi bukan rumah budaya yang isinya hanya gamelan."

heri dono interview elle indonesia anniversary 2019
Watching TV, 1988

Seni yang berharga menurut Anda?

“Yang memiliki konten atau muatan persoalan sehingga dapat menjadi kesaksian zaman. Ketika seni dibuat, dia bisa menjadi museum collectable. Karya-karya seni yang hanya dikoleksi oleh kolektor pribadi kadang tidak bisa dilihat orang, tapi kalau dimasukkan ke museum, setiap orang bisa lihat. Sehingga seni yang baik itu memiliki data-data ilmiah sebagai referensinya. Kemudian dipersepsikan dengan persoalan dan media baru yang aktual kemudian menjadi data baru. Orang bisa selalu membuat penelitian yang sifatnya sustainable dari variabelnya yang banyak.”

Pernahkah Anda menyerah dalam mencipta seni?

“Tidak. Sejak awal saya sadar bahwa stagnasi atau kejenuhan akan menjadi hambatan utama. Maka saya mencari strategi dan membuat manajemen diri dalam aktivitas seni. Waktu kuliah, saya melihat pertunjukan teater, tari, musik, mencari referensi buku yang tidak harus bermuatan seni. Kemudian aktif menulis, membuat sketsa, diskusi, dan eksperimental.”