1 September 2025
Bunga yang Tak Pernah Layu: Pram, Teater, dan Perlawanan di Ujung Abad
PHOTOGRAPHY BY Titimangsa

doc. Titimangsa
Ada kalanya sebuah karya sastra menolak untuk sekadar menjadi teks. Ia meluap, menembus sekat halaman, lalu menjelma menjadi peristiwa kebudayaan. Demikianlah yang terjadi ketika Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa—dua buku pertama dari Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer—dihidupkan kembali di atas panggung melalui pementasan teater “Bunga Penutup Abad”.
Pementasan produksi ke-88 Titimangsa ini, yang dipersembahkan oleh Bakti Budaya Djarum Foundation dalam rangkaian program Seabad Pram, akan digelar pada 29–31 Agustus 2025 di Ciputra Artpreneur, Jakarta. Sebuah momentum yang tak hanya menandai 100 tahun Pramoedya, tetapi juga mengingatkan kita bahwa karya-karyanya adalah obor yang terus menyala dalam konteks kebangsaan dan kemanusiaan hari ini.
Dan setelah tiga hari yang padat, dipenuhi ribuan penonton yang larut dalam kisah Minke dan Nyai Ontosoroh, pementasan ini membuktikan dirinya bukan sekadar tontonan hiburan semata. Ia adalah peristiwa kebudayaan, sebuah ruang perjumpaan antara sejarah dan masa kini, antara ingatan dan harapan. Di ujung abad dan di tengah zaman yang terus bergolak, Bunga Penutup Abad meneguhkan bahwa karya Pram akan selalu menemukan cara untuk hidup—dan untuk melawan—dalam diri bangsa ini.
Pramoedya kerap menegaskan bahwa menulis adalah sebuah perlawanan. Dari balik jeruji Pulau Buru, ia menuliskan kisah Minke, Nyai Ontosoroh, dan Annelies—tokoh-tokoh fiktif yang terasa lebih hidup daripada kenyataan itu sendiri. “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah,” begitu tulis Pram. Kini, satu abad setelah kelahirannya, tulisannya bukan hanya tak hilang, melainkan terus bertransformasi. Dari buku yang dicetak berulang kali, menjadi film, hingga kini panggung teater.
Happy Salma, produser pementasan ini sekaligus pemeran Nyai Ontosoroh, menyebut pentas kali ini sebagai “kerja budaya yang memanusiakan manusia”. Bersama sutradara Wawan Sofwan, Titimangsa menghadirkan berbagai kebaruan: naskah yang dipadatkan, skenografi panggung yang lebih kaya, hingga panggung putar—teknologi yang belum pernah digunakan dalam tiga pementasan sebelumnya. Semua itu memberi dinamika baru, menjadikan penonton bukan sekadar saksi, melainkan seolah ikut larut dalam pusaran sejarah dan emosi.
Kisah yang dihadirkan Bunga Penutup Abad berpusat pada Minke dan Nyai Ontosoroh setelah Annelies dipaksa meninggalkan Hindia Belanda menuju negeri asing. Dari surat-surat yang dikirim Panji Darman, asisten yang setia mengabarkan kondisi Annelies, tersingkap nostalgia, luka, sekaligus tekad perlawanan. Terpisah jarak ribuan kilometer, Minke dan Nyai Ontosoroh menemukan arti sebuah perjuangan: perlawanan yang sebaik-baiknya dan sehormat-hormatnya.
Di panggung, tokoh-tokoh itu diperankan oleh para aktor terbaik negeri ini: Happy Salma (Nyai Ontosoroh), Reza Rahadian (Minke), Chelsea Islan (Annelies), Andrew Trigg, dan Sajani Arifin. Kehadiran mereka bukan sekadar akting, melainkan penyaluran napas dari sebuah sejarah yang panjang.
Namun, pementasan ini tak berhenti pada nostalgia. Ia beresonansi dengan kondisi bangsa hari-hari belakangan ini. Di tengah krisis politik yang mengguncang, di saat apatisme terhadap negara kian menguat, dan ketika rasa cinta tanah air seringkali diuji oleh absurditas kekuasaan, Bunga Penutup Abad hadir sebagai ruang refleksi. Ia menegaskan bahwa nasionalisme bukan slogan, melainkan sebuah kesadaran kritis; sebuah pilihan untuk terus mempertanyakan, mengoreksi, sekaligus mencintai bangsa ini dengan cara yang jujur.
Sastra dan teater, dalam hal ini, memainkan peran penting: menjadi cermin yang menyingkap luka, sekaligus pemantik daya kritis. Panggung yang berputar itu seolah metafora bagi bangsa yang tak pernah berhenti bergerak—kadang limbung, kadang tegak—namun selalu menuntut keberanian untuk menatap masa depan.
Seratus tahun setelah kelahiran Pramoedya, kita belajar bahwa perlawanan tak selalu dalam bentuk senjata. Ia bisa berupa kata, bisa berupa panggung, bisa berupa bunga yang tak pernah layu di penghujung abad. Bunga Penutup Abad bukan hanya sebuah pertunjukan, melainkan sebuah pengingat: bahwa menjadi manusia Indonesia adalah terus berjuang, terus bertanya, dan terus bermimpi tentang kebebasan yang lebih luas daripada sekadar kemerdekaan politik—yakni kebebasan berpikir, berempati, dan menegakkan kemanusiaan.
bunga penutup abad
teater
seratus tahun
pramoedya ananta toer
happy salma
Reza Rahadian
Chelsea Islan
titimangsa